Mungkin ini asumsi saya. Beberapa tahun ke depan, bimbingan belajar online (BBon) akan menggusur bimbel face-to-face (BBff). Karena saya anggap gejala menuju model bimbel face-to-face sudah cukup signifikan. Lebih lagi lifestyle digital kita dan kebutuhan real time atas informasi (ilmu pengetahuan) menunjang preposisi saya diatas.
Iklan bimbel online sudah cukup marak sejak tahun lalu. Beberapa vendor bimbel online anak negri sudah cukup terkenal. Mereka menggandeng artis muda dan terkenal untuk promosinya. Sebut saja Maudy Ayunda untuk iklan Quipper. Lalu ada Iqbal Ramadhan (eks CJR) untuk promosi Ruangguru. Aplikasi belajar online lokal lain pun cukup populer seperti Brainly dan KelasKita.
Bimbel online mungkin lebih tepat disebut produk derivatif dari MOOC (Massive Open Online Course). Dipioniri oleh George Downes dan Michael Siemens pada tahun 2008. MOOC pertama kali dibuat sebagai media baru interaksi dan konektifitas siswa untuk belajar secara daring. Kelas ini awalnya diikuti 25 orang siswa dari University of Manitoba.
Di 2011, Standford membuka kelas tentang Artificial Intelligence dengan 160.000 peserta dari seluruh dunia. Lalu Udacity, platform MOOC gratis didirikan pada tahun 2012. Di tahun yang sama, Standford membuat Coursera. MIT dan Harvard yang berafilisasi dengan ratusan universitas ternama membuat edX. Pada 2017, ada 14 juta siswa aktif dengan 1.800 jenis makul ditawarkan oleh edX.
Bimbel online sebagai derivatif MOOC saya kira lebih bersifat lokal, targeted, dan terbatas. Lokal berarti kelas daring ini ditawarkan dan dioperasikan pada daerah tertentu. Bimbel online juga targeted karena hanya menyasar level pendidikan tertentu. Dan didasar pada batas negara, bahasa, dan akses usernya pada kelas online tadi.
Keterbatasan bimbel online diatas tentu menjadi poin lebih daripada bimbel face-to-face. Saat bimbel face-to-face harus menggunakan gedung, sarpras penunjang, dan performa guru. Sebaliknya bimbel online mengeksploitasi akses internet dan pengembangan database materi yang sudah ada.
Saat membuka sebuah cabang di satu kota misalnya, bimbel face-to-face membutuhkan dana lebih banyak. Sedang bimbel online cukup menggunakan akses internet dan gawai untuk menemukan muridnya. Sehingga biaya kursus bimbel online bisa berkali lipat lebih murah daripada bimbel face-to-face .
Kiranya baik bimbel face-to-face atau bimbel online jangan memposisikan siswa hanya sekadar konsumen belaka.
Eksploitasi dan pengembangan materi online pada database bimbel online menyasar konsumen baru yang spesifik. Via algoritma gawai, iklan bimbel online akan 'paham' level pendidikan, tingka kelas, bahkan mapel yang ditampilkan. Database ini pun ditawarkan, diakses dan diulang-ulang via aplikasi bimbel online untuk ribuan/jutaan user-nya.
Bimbel face-to-face tentu tidak memiliki fungsi real-time dan targeted consumers seperti perihal bimbel online. Namun, interaksi dan komunikasi guru di kelas menjadi poin lebih. Sisi afektif dan emosional siswa saat duduk langsung di kelas tentu tidak dipahami algoritma dan model belajar bimbel online.
Karena pendidikan adalah membangun manusia secara holistik. Dalam hal ini bukan sekadar sisi kognitif (tahu), tapi afektif (rasa), dan motorik (gerak). Bimbel face-to-face sejatinya menganut nilai komprehensif pendidikan ini. Mungkin berbeda dengan bimbel online yang lebih berat kepada sisi kognitif.