Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Media Sosial dan Propaganda Kebimbangan

Diperbarui: 21 September 2018   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pexels)

Saya tertarik pada pernyataan danah boyd, seorang peneliti di Microsoft di artikel Medium.

"Contemporary propaganda ins't about convincing someone to believe in something, but convincing them to doubt what they think they know."

Propaganda kontemporer bukan berfokus pada membuat orang meyakini sesuatu. Tetapi membuat mereka meragukan apa yang mereka sudah ketahui.

Pernyataan diatas kiranya memberi gambaran dibalik konflik sosmed yang terjadi. Berkat tsunami informasi yang terjadi, kita pun terkurung dalam kebimbangan. 

Sosmed yang begitu lekat dengan hidup manusia modern kini. Nyatanya menjadi agenda propaganda kebimbangan pihak-pihak tertentu. 

Apakah kita terjebak dalam propaganda tersebut? Mengapa kita kadang mempercayai berita abu-abu atau tidak jelas? Daripada mempercayai fakta yang sebenarnya.

Pertama, berlimpah dan beragamnya informasi justru memberi ilusi kebenaran. Seperti saat supply sebuah komoditas melimpah. Maka harga di pasar turun. Berbeda dengan emas yang jarang dan dihargai mahal. Seperti inilah mindset kita mencari apa yang namanya informasi 'A1'. Informasi yang langka via jalur khusus bisa dijamin kebenarannya.

Jalur khusus ini kita dapat melalui grup chat, linimasa, dan milis. Karena anonimitas, saat kita disuguhkan informasi abu-abu kita pun tak pernah tahu. Bisik-bisik dan ghibah via grup chat malah kadang dianggap sebagai informasi A1. Walau pada kenyataannya, perangkap echo chamber malah menyajikan informasi bermuatan politis, ekonomis, bahkan ideologis.

Common Social Media Question - ilustrasi: sproutsocial.com

Kita lebih memilih lingkungan homosphere dalam sosmed. Lingkungan ini memiliki anggota perspektif serupa, satu tujuan, dan kadang subversif. Mempertanyakan info A1 dalam grup seperti ini artinya menimbulkan konflik. Konsep digital tribalism juga cukup kental dalam grup seperti ini. 

Kedua, kadang media mainstream dianggap pro penguasa atau pihak mayoritas. Propaganda media mainstream tentu menyuguhkan apa yang membuat penguasa baik adanya. Seperti inilah bentuk propaganda primordial. Memberikan publik apa yang dianggap baik, dan menjaga kestabilan dan keamanan.

Memiliki perspektif anti-mainstream menjadi tantangan. Dan membuktikan tantangan ini seolah menjadi kemenangan pribadi dan kelompok. Menegasikan arus berita utama tidak perlu lagi proposisi 5W+1H. Cukup konfirmasi like/komen/share dari sosok oposisi dominan. Validasi kebenaran adalah milik mereka. 

Online Filter Bubble - ilustrasi: redcaffeine.com

Ketiga, menjadi pribadi netral dalam dunia ala sosmed kiranya mustahil. Preferensi ideologi, politik bahkan seksual sudah sukarela kita berikan informasinya ke dunia digital. Sehingga algoritma sosmed cukup mengkalkulasi kecendrungan dalam posting kita. Sehingga 'friend suggestion' kita pun tak jauh dari pribadi berpandangan serupa.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline