Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Membedah Anggapan "Di Medsos Galak, Aslinya Malah Pendiam"

Diperbarui: 13 September 2018   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Facebook Group - ilustrasi: theverge.com

Anda bisa jadi siapapun di dunia maya. Tapi jika sudah kentara profile picture kita di media sosial, itulah diri kita. Sekilas memandang mungkin tak cukup memastikan. Tapi melihat rekam jejak digital via linimasa, kadang bisa validitas identitas baru bisa didapat.

Seperti dalam artikel saya dulu Memahami Identitas Diri di Media sosial. Jika ingin membranding diri, media sosial bisa menjadi media promosi dan network yang baik. Memunculkan front stage identity yang asli, dengan keahlian bakat dan keilmuan. Tentu berimbas baik pada diri pribadi ke depannya.

Namun kadang hal ini tidak disadari banyak orang. Banyak orang memakai identitas asli guna mencemooh dan memaki di dunia maya. Walau aslinya, atau di dunia nyata kebalikannya. Orang tadi cenderung pendiam atau malah pemalu.

Lalu kini, mengapa dengan profile asli di media sosial, orang tidak ragu berperangai galak atau sarkas? Hal ini tentu berbeda jika seseorang menggunakan akun anomin. Bahasan tentang ini, baca artikel saya Media Sosial dan Kesepian Kita.

Beberapa alasan mungkin bisa saya rangkum. Namun tentu alasan berikut bersifat tentatif dan pengamatan pribadi.

Pertama, karena galaknya dalam lingkarannya saja

Lingkaran yang saya maksud adalah filter bubble atau echo chamber. Di sinilah ruang bias perspektif serupa atau homogen tercipta dan difortifikasi. Pandangan yang cenderung homogen akan menciptakan pribadi yang memiliki satu visi, misi, dan mindset.

Misalnya teman di Facebook akan terlihat sangar saat mengomentari posting bertagar tertentu. Dan kebetulan yang memposting adalah temannya yang juga berperspektif tagar yang serupa. Hal ini karena memang algoritma FB cenderung memunculkan posting serupa demi interaksi linimasa.

Kedua, muncul kesan digital tribalism dalam pribadi dalam media sosial

Karena terjebak dan terperangkap dalam echo chamber. Terciptalah sedikit kesan digital tribalism atau menjadi 'gangster' ala media sosial. Dengan komen atau posting sarkasme bahkan sumpah serapah, muncul kesan seseorang lebih superior. 

Baik posting sendiri atau mengomentari posting teman lainnya. Akan muncul kata kasar. Dengan harapan teman-teman selingkarannya ikut like, komen atau share postingnya. Dengan begitu orang tersebut merasa menjadi bagian dari komunitas atau tribalisme. Sehingga serangan kepada pribadi tidak ada atau minimal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline