Alasan pertama, karena kita cinta negri Indonesia. Kita lahir, besar dan mencari rizki di negri ini. Sepatutnya pun kita mencintai Indonesia. Membaca dan menulis artikel menyoal perpolitikan menjadi perwujudan nasionalisme. Mungkin penulisnya tidak setenar para pejabat negri. Mereka menulis satu kalimat saja, media ramai memberitakan. Kini tulisan politik dari rakyat biasa bisa menjadi aspirasi, kritik, kegundahan, dan kekecewaan rakyat. Persis seperti baris puisi Wiji Thukul "Ucapkan Kata-Katamu" berikut:
jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu
jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan
Alasan kedua, karena memang ada 'pesanan'. Dalam suasana Pilkada/Pileg/Pilpres, banyak orang maju menjadi amtenar negri ini. Sebagai tanda kandidat tadi pintar di mata rakyat, tulisan menjadi buktinya. Ditambah baik jika ada jejak digital tulisan yang membahas seorang kandidat. Tentunya hal ini menjadi nilai positif tersendiri.
Sayangnya, banyak kandidat yang tidak mau dan tidak biasa menulis. Jalan pintas pun ditempuh. Dicarilah ghost writer(s) yang mau menulis otobiografi-nya. Selain jasa post/like/komen akun palsu pendukung kandidat via sosmed. Ada juga jasa membuat konten blog. Bayaran membuat konten/artikel mungkin jauh melebihi menang blog competition. Apalagi membuat buku otobiografi demi mendongkrak citra.
Alasan ketiga, karena memang tren-nya berita, ya tentang politik. Berita soal politisi/tata negara seolah tiada habis dan tetap laris. Mulai dari korupsi, asusila, sampai urusan rumah tangga kadang masuk berita. Ditambah media yang cenderung hyper-partisan menimbulkan polarisasi politis. Di Indonesia televisi bebas dan gamblang (kadang congkak) menyiarkan kegiatan partai pimpinannya.
Dari media hyper-partisan ini pun muncul pihak pro-kontra pemerintah. Bagi partai pro-pemerintah dengan media televisinya, mudah saja 'mengiklankan' kemajuan yang dicapai pemerintah. Tapi berbeda dengan partai oposisi. Berita semacam ini adalah alasan membeberkan keburukan yang mungkin tidak terliput. Atau bahkan fakta yang dibuat-buat atau istilahnya 'digoreng'.
Alasan keempat, karena kini kita di era reformasi. Segala bentuk pembungkaman, pembredelan, atau pen-suspend-an ekspresi/media bicara melanggar spirit reformasi. Berbeda dengan jaman Orba. Dimana kritik/aspirasi yang berlatensi pencitraan buruk pemerintah, dapat dibungkam. Kini dengan sosmed, blog, atau media cetak kita bebas menyuarakan keresahan politik.
Ditambah beragamnya sumber berita dan berlimpahnya informasi era digital. Berita politik terpolarisasi menstimulasi dan mengokohkan filter bubble atau bias perspektif partisan kelompok. Jika portal berita X selalu menyudutkan pemerintah, maka terbentuk pendukungnya. Begitupun dengan pendukung portal berita Y yang pro pemerintah. Dalam lingkarnya sendiri, berita politik satu sisi menjadi konsumsi sehari-hari via sosmed.
Sebagai pelengkap, berikut penggalan awal puisi Wiji Thukul "Ucapkan Kata-Katamu" diatas:
jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas
kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput