Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Perilaku Oksimoron di Bulan Ramadhan

Diperbarui: 12 Juni 2018   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adult Beggar - foto: pixabay.com

Jika kamu merindukan suasana dan nuansa Ramadhan, artikel ini tidak membahasnya. Juga tidak akan membahas kenangan dan kesan masa kecil atau bekeluarga saat Ramadhan 

Ini yang saya sukai dari bulan Ramadhan. Perilaku kontradiktif atau oksimoron banyak saat berpuasa. 

Pertama, konon Ramadhan adalah bulan empati. Tetapi nyatanya bulan konsumsi. Tuhan dengan perantara para Nabi mengajarkan esensi berpuasa, yaitu berempati. Merasakan apa yang saudara seagama yang papa dan tak punya. Baik dalam hal apa yang masuk ke dalam perut. Ataupun menyoal apa yang menghias tubuh.

Empati serasa omong kosong jika melihat jejeran jajanan takjil yang malah ramai pembeli. Lihat dan amati para penampil dengan baju, aksesoris, gadget dan kendaraan baru di bulan ini. Walau tidak sedikit pula yang benar-benar berempati pada kaum marjinal dengan berpuasa kawan.

Kedua, kabarnya Ramadhan merefleksikan cara bersabar. Faktanya, makin banyak orang tidak sabar di jalan demi mengejar bukber. Makin riuh rendah antrean dengan gerutu saat membayar belanja borongan di pusat perbelanjaan. Sepertinya perut lapar mudah menyulut emosi sesaat. 

Dengan bersabar untuk berbuka puasa, sejatinya itulah berpuasa. Walau Tuhan sudah mewanti-wanti jika puasa kita bisa hanya mendapat lapar dan dahaga. Sepertinya ketidaksabaran menjadi fenomena nyata manusia yang dapat lapar dan dahaga belaka saat puasa.

Ketiga, alkisah Ramadhan adalah bulan berhemat. Berpuasa sendiri atau dengan keluarga, nyatanya pengeluaran membengkak. Walau ada yang namanya THR, tapi habis juga dibelanjakan. Semua demi tampil istimewa dalam pandangan mata manusia. Bisa jadi puasanya begitu miskin di hadapan Tuhan.

THR menjadi alasan untuk lebih banyak mengkonsumsi dan berbelanja. Toh serasa digaji 2 kali dalam 1 bulan. Tetapi nyatanya, bahkan 2 bulan gaji tidak juga cukup memenuhi keinginan. Apalagi sana-sini ada diskon, takjil, bukber, dan tetek bengek aksesoris tubuh dan gawai. Makin meronta hati ingin segera membeli. 

Keempat, ihwal Ramadhan dulu jamaknya adalah bulan bersedekah. Tetapi yang terjadi banyak yang bersedekah untuk dirinya sendiri. Mumpung gaji dan bonus berlebih, semua yang melekat dengan diri wajib baru. Hamburkan uang untuk sekadar bukber istimewa di banyak resto. Karena logika berkata, karena ada uang lebih bolehlah hedon sedikit.

Untungnya Tuhan juga memberi solusi berupa zakat Idul Fitri. Wahyu profetik yang hanya Tuhan dan Nabinya memahami sifat manusia saat berpuasa. Sepertinya keistimewaan Ramadhan sejak dulu memang berfokus pada peningkatan sandang, pangan dan papan. Bukan pada ruh, ibadah, dan rasa dekat dengan Tuhan.

Kelima, menurut sabda Tuhan seusai Ramadhan orang semakin bertakwa. Tetapi nyatanya, kembali sifat serupa sebelum Ramadhan. Bulan puasa hanya menjadi festival konsumtif dan hedonis beberapa orang. Mereka merasa mendapat libur dan upah lebih banyak. Maka nikmatilah selagi bisa. Untung saja Ramadhan hanya 1 diantara 12 bulan lain. Jika tidak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline