Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Siap-siap Ada Iklan Pada WhatsApp

Diperbarui: 10 Juni 2018   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Facebook with WhatsApp - ilustrasi: udgtv.com

Artikel ini saya intisari dari sebuah post di WSJ dan proyeksi saya menyoal WhatsApp (WA). Pada artikel di Wall Street Journal tersebut, dibahas silang sengkarut persoalan WA dengan Facebook (FB).

Konsekuensinya, dua pendiri WA kini memilih hengkang. Brian Acton sudah resign September tahun lalu. Sedang Jan Koum akhir April lalu. Hal ini diakibatkan friksi ideologis dan ekonomis antara eksekutif WA dengan FB.

WA adalah platform chat simple, berfokus pada pengalaman end-to-end users dan tanpa iklan. Sebuah visi yang Koum dan Acton sendiri tetapkan dan dijaga sampai saat dibeli FB dengan harga lebih dari 21 miliar USD (219 triliun IDR) di 2014.

Menurut Koum, iklan adalah 'insult to your intelligence' atau perendahan pada kecerdasan kita. Dengan pengalaman Koum bekerja di Yahoo, iklan menjadikan kita sebagai produk. Dan hal ini yang tidak diinginkan dari WA.

Zuckerberg tidak salah membeli pada WA. Saat ini pengguna WA sudah mencapai 1,5 miliar pengguna. Berdua dengan Sheryl Sandberg, Zuckerberg mencoba membujuk Koum agar WA lebih 'produktif'. Dengan kata lain, WA dengan prinsipnya dipandang tidak seproduktif FB/Instagram atau deversifikasi produk FB lain. Duo petinggi FB meminta WA agar mau mencari profit dari platformnya bukan sekadar menjaga prinsip.

Isu prinsip ini berfokus pada eksploitasi users data. Dampak negatif eksploitasi macam ini sudah dialami FB. Saat seorang petinggi Cambridge Analytica angkat bicara soal users data FB yang digunakan memanipulasi pemilu 2016, FB meruntuhkan kepercayaan para netizen. Walau kini berbenah, namun etika vendor teknologi yang lalai seperti ini sering terjadi. Baca artikel saya tentang isu etika.

Berbeda dengan WA yang digemari karena sistem enkripsi antar penggunanya. Semua chat pada platform WA akan terhapus dengan sendirinya di server WA. Jadi eksploitasi algoritma, perilaku users, atau geo-tagging guna retargeting iklan tidak ada. Berbeda dengan FB yang terang-terangan menggunakan users experience pada FB/Instagram untuk iklan.

Note Brian Acton di mejanya soal prinsip WA - foto: businessinsider.com

Menurut saya pribadi, gelagat WA akan beriklan sudah dimulai sejak muncul fitur Status. Fitur ini serupa dengan timeline ala FB/Insta atau Twitter.

Namun khusus pada WA, setiap status pribadi akan hilang setelah 24 jam. Yang saya lihat di fitur Status ini akan muncul iklan nantinya. Walau saat ini tidak terlihat. Bisa jadi teman/rekan kita yang berbisnis mengunduh WA for Business, menginjeksi chat masif kepada list kontak yang ia miliki. Lalu memunculkan iklan di fitur Status kita setiap hari.

Karena memang FB berencana menggunakan nomor telepon kita sebagai media beriklan. Nomor telepon kita secara tidak sadar sudah sebar. Contohnya di counter HP saat membeli pulsa. Bisa jadi si counter HP memiliki WA Business dan terjadi skema di atas. Kita tidak kenal empunya counter, tetapi tetiba menjadi teman dan mengirim pesan/status di WA kita. Dengan kata lain, WA akan berfungsi layaknya provider internet/telepon yang kita punyai saat ini. 

Tidak ada yang salah dengan model bisnis era digital seperti yang diterapkan FB. Namun, prinsip Koum dan Acton dengan WA patut kita apresiasi dalam dunia sosmed. Jangan sampai semua platform medsos disesaki iklan. Harus ada sosmed yang murni untuk berinteraksi antar penggunanya. Jangan sekadar terus meracuni iklan barang yang belum tentu kita mau/mampu membeli. 

Bukankah polusi fikiran sudah setiap hari dilihat di televisi kita. Lalu ada lagi iklan linimasa FB/Insta. Masa ditambah lagi sliweran chat iklan di WA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline