Pak Di selesai mengatur lalulintas perempatan saat matahari mulai meredup jingga. Perempatan kini ramai dan riuh, setelah pak Di tinggal. Beberapa kotak berisi makanan pak Di bawa dengan onthelnya pulang.
"Wah dapat takjil pak Di?" tanya Yatno, tukang becak yang mangkal di perempatan.
"Iya ini No. Syukur alkhamdullilah. Nggo cucuku neng omah." jawab pak Di bersahaja.
"Darimana pak? Saya mbo dikasih tahu?" Basa-basi Yatno bertanya. Sembari mencari tahu, siapa yang memberi. Siapa tahu masih berada di sekitar sini si pemberinya.
"Soko gusti Alloh Yat. Yo wes ya. Ta mulih sik ya..." Pak Di atau Dirma menaiki onthel tua itu dengan sigapnya. Membiarkan Yatno berfikir.
Tak banyak orang tahu, kalau onthel itu adalah saksi perjuangan tahun 1949. Dengan Dirman muda, onthel ini menjelajahi kampung-kampung di Solo. Dengan onthelnya, Dirman yang masih berusia 17 tahun turut berjuang. Ia harus menyusuri wilayah Sub Werkreise 106 Arjuna di sekitar Solo. Atas perintah Mayor Akhmadi, Dirman muda pun harus menyampaikan kabar serangan 7 Agustus nanti kepada warga kampung.
Karena dibawah pimpinan Van Ohl, pasukan Belanda cukup taktis. Dirma tidak boleh terdeteksi pasukan Belanda. Beberapa rekan Dirman pernah ditangkap. Dirman pun menghindari daerah Jurug, Jagalan dan Balapan. Karena pasukan Belanda terkonsentrasi di sekitar wilayah tadi.
Dirman berhasil menyampaikan pesan Mayor Akhmadi. Dibawah pengawasan Brigjen Slamet Riyadi dari Werkreise I, Dirman bangga turut berjuang. Pertempuran pun bergejolak selama 4 hari di awal Agustus 1949. Pasukan TNI yang sudah memukul mundur pasukan Belanda ke daerah Pasar Nongko. Dirman pun menyaksikan kota Solo dikuasai pasukan TNI di tanggal 10 Agustus.
Namun sayang tidak banyak orang yang tahu perjuangan pak Di. Mungkin cucunya pun hanya tidak tahu sertifikat Veteran yang pak Di sembunyikan. Veteran adalah pejuang yang dipilih Tuhan untuk menyaksikan perjuangan anak bangsa berikutnya. Begitu fikir pak Di.
"Sudah selesai pak Di?" tanya Suroto yang hendak ke mesjid.
"Eh, iya nak. Sebentar lagi saya susul ke mesjid."
"Nggih pak. Wah dapat takjil pak Di? Dari siapa pak?" kembali Suroto bertanya sopan.
"Saking Gusti Alloh nak... Saya tak pulang mandi sebentar ya nak." meninggalkan Suroto kebingungan.
Sepeda onthel pun disandingkan di samping tumpukan kardus. Pas dekat pintu masuk, pak Di sudah mengumpulkan banyak kardus untuk dijual. Kadang sembari menjadi pak ogah, pak Di memulung kardus. Lumayan, kadang satu kilo kardus dihargai 1,500 rupiah.
"Assalamualaikum..." pak Di mengucap salam di depan pintu yang dibiarkan terbuka. Toh pintunya sudah lapuk disana sini. Tidak ada kunci atau handle. Menguncinya pun cukup ditahan sebongkah batu bata di belakang pintu. Karena apa yang hendak dicuri di rumah pak Di?
Pak Di tahu, ada cucu putrinya di dalam rumah. Biasanya datang untuk beres-beres tiap sore.
Hanya televisi butut di meja reyot yang tidak pernah nyala, Dijual pun tidak laku. Ada lemari kayu tempat pak Di menyimpan semua. Dan memang hanya lemari kecil ini yang terlihat laik di ruang tamu. Selebihnya tidak ada yang istimewa. Dan memang, rumah pak Di ya hanya ruang tamu itu.