Ada beberapa aspek yang juga mendadak setelah ada pasar dadakan. Kiranya kau butuh tahu kawan.
Pertama, pengeluaran mendadak. Kau berkunjung sekali. Sekadar window shopping. Kali kedua kau sudah pilah-pilih barang yang mau dibeli. Kali ketiga kau sudah memborong barang yang kemarin kau beli. Dan, bisa jadi beli barang lain yang kau lihat saat sekadar berjalan. Sampai tak sadar, tabungan sudah menipis.
Kedua, rencana mendadak. Kau sudah rencanakan akan bukber teman SMP hari Senin esok. Tapi kau ubah rencana. Karena tahu, teman SMP pun sudah sering bertemu. Kau juga hanya tinggal di kota kecil. Senin kau sempatkan sore setelah dari kerja mampir ke pasar dadakan. Ya ambillah waktu buka puasa sampai menjelang isya.
Ketiga, mampir dadakan. Sebenarnya kau tidak berencana ke pasar dadakan. Karena mendadak temanmu mengajak ke sana. Kau pun tidak ada kerjaan lain setelah pulang kerja nanti. Mengapa tidak mampir ke sana. Sekaligus ngabuburit, ujar temanmu itu. Pun, temanmu bilang kau tidak mau beli apa-apa. Cuma lihat-lihat.
Keempat, mendadak beli. Dari sekadar mampir mendadak. Kau digoda untuk membeli barang diskon. Murah meriah harganya daripada di toserba depan kantor Bupati di kotamu. Mengapa tidak beli saja. Kalau tidak sampai 500 ribu kau masih sanggup. Toh, minggu depan mudah-mudahan THR turun. Digit rekening lumayan bisa tambah.
Kelima, penjual dadakan. Di pasar dadakan kau pun temui teman SD-mu. Seumur-umur kau tidak pernah lihat dia berniaga. Kini dia mendadak jualan baju distro KW. Dari harga 50 ribu sampai 100 ribu dijual. Kau coba mampir siapa tahu ada diskon buat teman. Tapi sayang, bisnis tetap bisnis. Rugi sedikit adalah awal kerugian besar kata temanmu. Amsyong.
Keenam, lokasi pasar dadakan yang juga dadakan. Kau lihat kemarin jalan depan masjid raya masih sepi. Sore tadi kau lihat sudah berderet lapak penjual. Dari mulai yang memakai mobil pickup sampai ndlosor gelar terpal, bermacam jenis penjual. Ramadhan kemarin tidak ada penjual di depan mesjid. Mungkin gegara bupati baru?
Ketujuh, kerumunan dadakan. Yang berjuluk pasar, pasti mengundang kerumunan orang. Dan kerumunan orang di pasar dadakan tidak sekadar banyak. Mereka bisa menghalangi pejalan kaki di trotoar. Menghabiskan separuh badan jalan raya. Atau malah menutup jalan kampung atau jalan alternatif. Biasanya berpengaruh pada macetnya lalin.
Kedelapan, muncul lah preman dadakan. Di mana ada lapak, disitu banyak preman menghampiri. Ada yang minta uang keamanan sampai memungut THR. Mereka pun kadang berseragam di luar seragam resmi aparat tata kota. Bisa warna yang menyimbolkan ormas besar (baca: preman). Karena sudah tidak zaman preman sekarang memakai baju compang-camping.
Kesembilan, tangan-tangan jahil pun muncul. Dan hati-hati kawan di pasar dadakan. Banyak tangan jahil. Mulai dari para copet yang dari mulai anak kecil atau ibu-ibu. Sampai berkelompok dan lihai. Juga jangan lupa, mereka yang memberatkan timbangan buah. Mereka yang menjual barang reject atau rusak. Atau yang sangat merugikan, mengganti tanggal kadaluarsa.
Duh, kiranya itu saja yang bisa saya klasifikasikan kawan. Karena konon, pasar adalah tempatnya bertipu daya mencari untung sebesar-besarnya. Kita pun kadang khilaf membeli apa yang kita inginkan. Tapi bukan yang kita butuhkan.