Polemik warung diminta untuk tutup saat Ramadhan hanya milik dua kubu. Pertama, kubu yang fundamentalis salah konteks. Dan yang kedua, media yang mencari berita. Entah disadari atau tidak, kedua kubu bersimbiosis mutualis. Saat kubu pertama gencar menutup (bahkan memaksa) warung makan, kubu kedua mendapat berita.
Kubu fundamentalis pun meminta empunya warung untuk menutup warungnya. Hei, kalian tinggal dimana kawan? Republik ini tiada pernah mewajibkan warung makan tutup. Patuhi umara di negri kalian tinggal. Jangan paksakan perkataan pemimpin kalian. Bukankah pemimpin kalian pub hidup dan mencari rezeki di Indonesia?
Tegakkan iman dan ahlak dengan perilaku yang sejuk. Tiada persekusi dan anarkis kau patut pertontonkan. Bukankah sudah banyak dari kita yang jengah melihat aksi preman kubu fundamental salah konteks. Kau fundamentalkan saja iman dan ahlak. Lalu kedua unsur penting ini kau lakukan dengan tindakan teduh.
Tundukkan rasa syak wasangka dan tak suka publik pada kelompok kalian. Tunjukkan pada publik, kalian adalah sang penjaga agama. Bukan dengan otot. Tetapi dengan perilaku.
Sehingga, stereotipe dari kubu media tidak selalu menyorot kubu pertama. Karena layar berita dan dunia digital berhura-hura diatas teriakkanmu. Pada media tulis, menyoroti buruk kubu pertama sebagai komoditi. Walau kami tahu, kalian pun banyak berbuat baik. Mungkin jika kalian deretkan banyaknya amal baikmu. Bisa pun menyaingi bingkai buruk media terhadap kubu kalian.
Kubu media tiada pernah lelah memasang telinga mereka. Mereka tiada pula lupa mengendus berita buruk kubu pertama.
Dan aku, kamu, dan kita terperangkap dalam polemik ini. Pada satu sisi kita menyesali tindakan kubu pertama yang kebablasan. Di sisi lain, kita pun tak ingin berita kubu pertama jadi konsumsi publik. Jatuhlah kembali label buruk pada umat. Karena mau tak mau, banyak orang yang memukul rata perbuatan satu pihak sebagai keseluruhan. Apalagi kejadian buruk ini kadang terus terulang.
Tundukkan pribadi kita pada hukum yang berlaku kawan. Tak usah mencari cara mengakali apa yang sudah diundangkan. Karena kita tahu, pemimpin sudah berfikir kebaikan orang banyak dengan tidak mewajibkan warung tutup di bulan puasa.
Tinggal semua kembali kepada kita. Apa kita hendak mengkompori persekusi yang ada. Atau kita bersama teduhkan suasana. Tak perlu nafsu untuk pergi ke rumah makan. Walau godaan itu pasti datang. Walau rekan pun kadang makan saat berada di sekitar kita.
Dan hei, kita sudah dewasa. Sebagai Muslim, mungkin sudah puluhan kali kau berpuasa. Dan lucu jika hanya karena warung makan tetap buka. Kita terpancing untuk masuk dan segera menyantap. Membatalkan puasa.
Beruntunglah kita juga kawan. Warung makan banyak yang menutupi warungnya walau tetap buka. Dengan gorden dan kelambu mereka tutupi kegiatan makan pelanggan lain. Tiada pernah rumah makan mengumbar makanan atau orang sedang makan. Bukankah indah toleransi yang kita praktikkan ini kawan.