Wacana Kemenristekdikti mengundang 200 dosen asing menimbulkan 'kegaduhan'. Ada kegaduhan yang mengabarkan sisi positif dosen asing tadi selama setahun lebih mengajar. Ada juga kubu negatif yang meragukan hal ini bisa membuat kegaduhan di kalangan dosen lokal.
Sebelum jauh membahas wacana ini, saya coba berbagi pengalaman diajar dosen asing. Studi yang saya lakukan di Australia dulu.
Mungkin tidak serta-merta pengalaman ini menjadi generalisir. Tetapi apa yang saya alami saat diajar doktor atau professor asing, ada enaknya dan tidak enaknya. Namun, semua masih relatif bagi lain orang.
Enaknya tentu bisa bercakap langsung dengan ahlinya. Saya pernah menelusur seberapa banyak salah satu dosen saya menulis. Dan wow! Memang beliau banyak sekali menulis buku, jurnal dan proceeding. Keahlian beliau langsung 'diturunkan' dari seorang ahli bidang pronunciation asal US. Bahkan slide-slide yang beliau tampilkan di kelas, banyak memajang foto si ahli.
Dalam hal pedagogis di kelas, saya akui mereka membuka pemahaman baru. Selain itu, pembahasan pun nampak interaktif dan terstruktur.
Terbantunya teknologi kelas yang memadai serta penguasaannya yang baik, mengajar menjadi menyenangkan. Baik model ceramah atau praktik, ada saja cara dosen asing ini memandu saya untuk faham dan kritis pada materi. Beragam pertanyaan dari teman silih berganti muncul di kelas.
Tentu ada juga tidak enaknya diajar dosen asing. Kadang cara mereka monoton serupa dosen negri sendiri. Tugasnya pun banyak sampai kadang bingung sendiri. Tidak masuk kelas/izin absen dari kelas tidak berarti tidak ada materi/tugas. Bagi beberapa hal ini tidak jadi soal.
Namun menjadi masalah buat sebagian. Materi model online terkadang menyulitkan untuk bisa difahami. Karena sudah terbiasa tatap muka langsung.
Terlepas dari perspektif pribadi yang pernah mengalami diajar dosen asing. Ada beberapa isu yang mungkin akan timbul jika benar dosen asing mengajar/meneliti/pengabdian publik disini. Walau tak dapat dipungkiri, dosen asing saat ini sudah mengajar di beberapa PTN/PTS di Indonesia.
Pertama, kesiapan learning culture mahasiswa kita. Sejak SD siswa kita dikondisikan dengan pola teacher-centered. Walau pola ini bergeser, namun kiranya tidak holistik. Ada kelas bermahasiswa kritis, banyak pula yang tidak demikian.
Kelas didominasi ceramah/presentasi dosen. Saat sesi diskusi diluncurkan, keheningan menyeruak. Satu atau dua pertanyaan selama dosen presentasi mungkin ada.