"Bobo Teman Bermain dan Belajar"
Tagline diatas berasal dari majalah anak-anak favorit saya waktu saya kecil. Kalimat yang membawa kita memahami konsep belajar sambil bermain untuk gamifikasi. Sebuah metode yang saat ini menjadi bagian pedagogis guru milenial. Cara belajar yang saya kira tidak pernah lekang baik untuk anak-anak, remaja atau orang dewasa.
Bukankah belajar sambil bermain menyenangkan? Daripada mendengar guru berceramah soal materi, belajar dengan permainan yang melibatkan fisik, kognisi dan perasaan akan lebih menyenangkan. Apalagi di era digital, belajar dengan cara menyenangkan tadi bisa dilakukan melalui gadget yang kita punya. Maka gamifikasi pun menjadi solusi pembelajaran untuk digital natives saat ini.
Gamifikasi atau gamification akar katanya berasal dari game atau permainan. Dan gamifikasi sebenarnya sudah aja sejak dulu. Terutama pada pendidikan anak usia dini atau pra-sekolah. Namun karena kata game sendiri kini maknanya terameliorasi dalam ranah digital. Gamifikasi pun difokuskan pada literasi digital. Program atau aplikasi yang memiliki unsur gamifikasi biasanya disebut funware.
Konsep fundamental gamifikasi terletak pada intuisi manusia untuk menjelajah mencari solusi. Menurut Raph Koster, seorang game designer, pendidik, dan enterprenuer, dalam game ada sistem abstrak, tantangan, penilaian, dan penghargaan, serta pelibatan perasaan. Saat semua ini terintegrasi ke dalam kegiatan belajar, maka belajar pun akan melibatkan motiviasi intrinsik.
Dalam gamifikasi, motivasi intrinsik ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah terkait motivasi internal yaitu: challenge (tantangan), curiosity (penelusuran), fantasy (fantasi). Dan bagian kedua adalah motivasi interpersonal yaitu: cooperation (kerjasama), competition (persaingan), dan recognition (pengakuan). Selengkapnya di Taxonomy of Internal Motivations (Lepper dan Malone, 1987). Teori belajar menyenangkan pun terkait Minimalism Theory dalam pembelajaran teknologi. Dalam teori ini, pembelajaran haruslah bermakna, interaktif, berisi eror yang bisa dperbaiki, serta relevan ke dunia nyata. (Selengkapnya di communicationtheory.org)
Saat motivasi internal dan interpersonal di fasilitasi dengan program/aplikasi untuk pembelajaran menyenangkan, maka gamifikasi lahir. Saat online game, seperti World of Warcraft, dan konsol game seperti Playstation tak pernah berkurang user-nya, mengapa tidak gamifikasi diterapkan. Dan tren gamifikasi sebenarnya sudah ada dalam banyak bidang seperti commerce, finance, sport, dll (lihat sumber). Namun belum banyak yang menelusur ke ranah pendidikan.
Beberapa aplikasi/situs sudah mengembangkan model pembelajaran gamifikasi, seperti Kahoot dan Scirra. Dan beberapa platform lain baik melalui situs/app yang bisa dilihat di c4lpt.co.uk. Tinggal bagaimana penerapan dan manajemen guru/instruktur menggunakan situs/app tadi untuk pembelajaran. Karena sejatinya guru adalah fasilitator dengan kreatifitas tinggi untuk mengajar. Media yang ada bisa jadi mengimplementasikan metode gamifikasi.
Tentunya gamifikasi juga memiliki hambatan dalam penerapannya. Kesulitan yang mungkin terjadi seperti planning, membuat prototipe, dan finalisasi game itu sendiri. Walau saat ini pun sudah banyak applikasi yang dibuat oleh beragam vendor. Dalam ranah pedagogis tentunya kesulitan dalam menintegrasi elemen pedagogis, menyatukan konten belajar, dan tujuan belajar. Dari perspektif pembelajar sendiri hambatan yang muncul bisa berupa kurangnya motivasi, tidak adanya emosi terlibat, dan kesulitan menyelesaikan tingkat kesulitan. Guru sendiri membutuhkan training, simulasi, aplikasi dan assesmen untuk satu model game dalam pembelajaran.
Gamifikasi kini sudah menjadi kebutuhan akan tuntutan literasi digital. Pendidikan konvensional yang kurang bisa memanfaatkan teknologi akan mulai ditinggalkan di masa depan. Hal ini terjadi karena zaman digital yang terus berkembang cepat. Bahkan generasi yang guru jumpai di kelas saat ini menjadi digital native. Jangan sampai apa yang guru ajarkan di dalam kelas tidak relevan dengan apa yang siswa rasakan di luar sana. Apalagi jika pelajaran lebih seperti bermain sembari belajar.
Referensi: Bishop, J., 2014 Gamification for Human Factors Integration | Kapp, M. Karl., 2012 The Gamification of Learning and Instruction