Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Sebuah Dekonstruksi Kata "Mudik"

Diperbarui: 23 Juni 2017   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudik - foto: pojoksamber.com

Saya pribadi, sejak kecil sudah diajak mudik bapak-ibu saya. Masih jelas teringat saya duduk di lantai kereta api yang penuh orang dulu. Atau segarnya kabut pagi stasiun Purwokerto saat tiba di satu pagi bulan puasa. Juga betapa senang jua sedih harus bergumul dalam satu mobil kijang berisi 11 orang. Ditambah macet dan panasnya jalur Pantura. Saya dan keluarga sudah menjadikan mudik sebagai tradisi.

Namun apakah mudik hanya sekadar tradisi? 

Saat jutaan orang 'eksodus' dari daerah urban ke daerah asal mereka, bukan tradisi belaka yang kita rasa. Ada kelindan makna dalam rumit lagi indahnya mudik. Beragam perasaan yang bercampur baur ini, kadang menenggelamkan makna yang begitu banyak pada mudik. Yang kita rasa adalah realita yang menjadi produk sengkarut makna mudik itu sendiri.

Secara etimologis, kata 'mudik' sendiri berarti udik. Udik adalah kampung, desa atau daerah rural. Daerah yang dianggap inferior ketimbang daerah urban di era industrial. Daerah agraris yang dianggap obsolete atau kuno. Daerah yang tidak menunjukkan banyak kemajuan serupa kota besar. Daerah yang bisa disebut 'penghasil penduduk kota'. Namun banyak orang kota yang tidak mau dijuluki orang udik.

Bahkan saat mudik pun, tidak banyak yang kembali menjadi orang udik. Orang udik atau desa banyak difahami 'serba kurang'. Bajunya tidak semewah orang-orang kota. Hartanya yang nampak pun tidak sebanyak orang kota. Atau gaya bicaranya pun tidak sekeren orang kota. Orang yang mudik tetap ingin menjadi orang kota. Tidak mau disebut orang udik. Toh, mereka pun hanya tinggal sejenak pada masa liburan Lebaran. Tapi banyak lupa kalau nenek moyang mereka adalah orang udik.

Jadi, di makna literal sendiri terjadi violation of meaning. Pelanggaran makna yang secara realistis tidak berkesesuaian. Mudik sendiri saat ini dimaknai ajang pamer dan hura-hura. Yang pulang kampung harus memakai mobil mewah, pakai baju bagus, atau bawa banyak uang. Usang dari makna udik yang begitu sederhana. Alasan utamanya pun sebagai ajang berbagi rezeki pada sanak famili di desa. Berbagi adalah kewajaran dan keharusan bagi yang berlebih. Namun benarkah hanya berbagi rezeki semata saat kita mudik?

Mudik juga berarti kembali. Kembali adalah aktivitas blueprint manusia. Sejak kita kecil, kita diajarkan untuk kembali. Saat belajar berjalan, kita diminta berjalan kembali ke arah ayah/ibu/keluarga kita. Saat kita sudah besar, kita diminta kembali ke rumah pada batas waktu tertentu. Begitupun saat kita dewasa/menikah, kita akan kembali ke rumah dimana kita tinggal. 

Secara ekletikal pun, kita adalah makhluk Tuhan yang akan kembali kepada-Nya. Dari tanah maka kita akan kembali ke tanah. Kepada Dzat yang mencipta kita sebagai manusia. Dan dalam jenak kita pun, rasa penasaran kita pun akan menjadikan kita selalu berkembali. Saat tidak bisa kita mengurai fenomena malam/siang maka semua kembali kepada kuasa Tuhan. Pikiran kita terlalu terbatas untuk bisa memahami jagad semesta ciptaan-Nya.

Begitupun dengan mudik yang tersirat maknanya berkembali. Kita kembali ke kampung halaman tempat kita/orang tua kita/nenek moyang kita lahir. Tentu dengan makna yang sederhana yaitu menghormati mereka. Namun, ada pula makna yang bisa kita pahami dengan kembali ke kampung halaman.

Mudik adalah menyatukan sanak keluarga. Dengan mudik di hari Lebaran kita bisa berkumpul dengan keluarga jauh. Bukan pula sekadar bertemu, namun tahu dan faham kita memiliki saudara. Mungkin paman yang belum pernah anak kita lihat. Sepupu yang sudah puluhan tahun tidak mudik karena tinggal di luar negri. Semua ini menciptkan hubungan yang satu sebagai keluarga.

Mudik pun berarti kembali membahagiakan. Bukankah kita semua bahagia melihat orang lain bahagia. Lihat saja raut wajah nenek/kakek/buyut yang melihat anak cucunya bermain. Atau amati betapa heran paman/bibi/pakde/bulek yang tahu ternyata anak kita sudah besar. Pun, jika ada kesedihan maka akan dilipur dengan berkumpul bersama. Karena tidak bisa diingkari jika ada saja takdir yang menjemput sanak saudara kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline