Saya tidak mau membela pihak provider yang dianggap mahal pulsanya. Namun jika menengok realitasnya, pulsa murah mungkin banyak disalahgunakan. Saya pun mengakui belum ada korelasi tangible menyoal pulsa dan penyebaran berita hoax.
Namun analogi sederhana dari fenomena viralnya berita hoax, ada kemungkinan hal ini benar. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) terjadi peningkatan signifikan pengguna internet di Indonesia. Dari 88 juta di tahun 2014, menjadi 132,7 juta di tahun 2016. Jadi hampir 50% penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. (tekno.kompas.com)
Di Indonesia lebih dari 50% pengguna internet termasuk ke dalam digital immigrant. Digital immigrant adalah generasi yang lahir dan cenderung baru pada teknologi. Kebaruan ini menjadikan mereka cenderung euforis, sporadis dan spontan pada hal-hal bernuansa teknologi. Mereka adalah generasi V, W dan X yang lahir sebelum 1994. Jadi dari data APJII tahun 2016, dari 132 juta, ada sekitar 75 juta adalah digital immigrant.
Bukan berarti secara general digital immigrant adalah penyebar berita hoax. Kemungkinan viralitas berita hoax bisa jadi juga terjadi pada digital natives. Karena berbagai faktor pendorong menyebar berita hoax terkait konteks, psikologis dan intensi tertentu. Ditambah kemudahan akses lewat sosmed yang personal dan real time, hoax menjadi konsumsi sehari-hari.
Mungkin juga faktor pulsa murah membuat hoax begitu sering dan mudah disebar. Hal ini secara psikologis terkait Scarcity Theory. Teori scarcity atau kelangkaan terkait adanya kemungkinan perilaku acuh dan sepele saat sesuatu berjumlah banyak. Kebalikannya, sesuatu yang langka akan membuat kita teliti dan banyak mempertimbangkan untuk mendapatkan atau menggunakan sesuatu.
Saat pulsa dan paket data murah, maka akses dan interkoneksitas pun dirasa 'normal'. Setiap kita dimanapun dan kapanpun bisa mengakses internet. Dan kita bisa membagi berita, info, status, post dengan orang lain (interkoneksitas).
Maka tak heran tagar tertentu di Jakarta bisa mencapai worldwide trending topic. Atau secara spesifik betapa banyak notifikasi di foto yang kita unggah di Facebook 15 menit lalu. Atau adanya beribu notifikasi di grup chat WhatsApp atau BBM.
Walau hal ini adalah esensi 'sosial' di dunia maya. Hal ini juga berarti banyak sekali dari kita yang online. Dan online berarti kita dan mereka memiliki akses. Mengakses internet pun berarti memiliki pulsa atau paket data. Dan tidak berarti akses internet hanya dimiliki kalangan ekonomi menengah atas. Bisa jadi dari 132 juta pengguna internet terdiri dari beragam kalangan ekonomi di Indonesia.
Kecenderungan perilaku acuh dan sepele pada akses dan interkoneksitas internet bisa saja terjadi. Baik berita valid atau hoax bisa jadi tidak mudah dibedakan. Karena data internet dihargai murah dan belaka, ada rasa sayang jika paket data tidak habis di jangka waktu tertentu. Dengan 50 ribu rupiah, sudah bergiga-giga data internet kita dapatkan. Bukan salah kita jika menghabiskannya untuk semua hal di internet, semuanya.
Perilaku ini mungkin sudah terlanjur umum di Indonesia. Kegembiraan dan rasa percaya pada internet membuat kita tidak enggan berbagi semua hal tanpa filter. Sehingga sudah saatnya kita memahami semua hal di dunia maya tidak seperti yang kita tahu benar. Mengetengahkan wacana literasi digital bagi generasi saat ini menjadi urgensi preventif dalam pendidikan.
Mahalnya pulsa dan problem yang ditimbulkan pun saya coba berikan solusi. Sudah saatnya provider memberi pendidikan dan kampanye literasi digital. Bukan sekadar promosi produk dan jasa, provider kini harus perduli dengan fenomena viralnya berita bohong di Indonesia. Jika pulsa tidak bisa murah, maka pelayanan dan keperdulian bagi pengguna pun harus juga ditingkatkan.