Sangat disayangkan jika lagi-lagi conspiracy of silence (CoS) terus kita suarakan. Video Ahok yang diprotes beberapa kalangan adalah salah satu bentuk CoS. Hal yang sebenarnya sudah faktual, namun terus coba diingkari keberadaannya. Kaum mayoritas merasa tersinggung jika boroknya terus dibahas atau ditampilkan. Ada 'tabu' yang dibuat-buat.
Video kampanye Ahok yang menggambarkan simbolisme kaum mayoritas dengan kerusuhan menjadi dasar 'pembredelan' ini. Seolah merasa tidak terima kerusuhan dengan oknum yang membawa simbolisme agama mayoritas, maka video ini dianggap melecehkan. Dan hal ini disambut gempita oknum yang kontra dengan Ahok. Tentunya dalam konteks Pilkada DKI 2017. Tak ayal bulan-bulanan kata sesal dan cemooh pun menghebohkan netizen.
Konteks video ini menjadi sebuah wacana yang mengkonsolidasi CoS. Conspiracy of silence sendiri berarti pengingkaran secara jamaah terhadap satu hal yang dianggap memalukan. Persis serupa peribahasa 'Gajah di pelupuk mata tidak nampak. Semut di seberang lautan nampak jelas'. Namun dalam konteks CoS, hal ini dilakukan secara bersama dengan konvensi tahu sama tahu. Fenomena yang sama walau implisit juga saya bahas di artikel Stiker 'Pribumi' di Aksi 313 Mengorek Luka Tragedi 1998.
Beberapa isu yang juga menjadi konteks CoS ini seperti G30S/PKI pun menjadi isu sensitif. Tidak perlu ditelusuri dan difahami lebih jauh. Dengan dalih bahayanya faham komunisme, alasan dendam, atau bahkan munculnya gerakan PKI kembali menjadi ketakutan tersendiri. Sebuah CoS yang secara halus kita fahami bersama. Jika ada yang mencoba membahas genosida di PKI maka sanksi sosial bisa saja dijatuhkan.
Juga menyoal kebencian etnis tertentu di Indonesia. Sebuah hal yang menjadi CoS dari kaum mayoritas. Entah siapa yang terus merongrong kita dengan isu Asing-Aseng ini. Namun bagi beberapa pihak, hal ini dianggap cukup ampuh. Toh nyatanya di Pilkada DKI 2017, isu ini santer didengungkan. Tak lain secara inklandestin agar pilihan pemilih bisa dialihkan kepada calon yang 'lebih pribumi' daripada pasangan Ahok.
Isu agama pun terus menjadi isu yang mudah disulut di Indonesia. Nyatanya tragedi Poso sampai saat ini sudah hampir masuk peti es. Tidak ada kejelasan atas konflik yang nyatanya adalah menyoal perbedaan agama. Korban jiwa dan trauma sudah jelas ada. Namun sepertinya hal ini terus berputar-putar dalam wacana CoS. Ada yang mencoba membongkar dan ingin mengetahui sejarahnya. Namun sepertinya ada tembok besar yang kita sebut CoS.
Kembali ke kasus video Ahok dan penyangkalan simbolisme agama yang dipotret secara anarkis, adalah bentuk CoS. Bagaimana dengan video pemenggalan kepala oleh ISIS yang juga membawa simbol agama? Bagaimana menyoal kasus oknum yang berteriak atas nama tuhan, menembak membabi buta di Bataclan Perancis? Semuanya secara faktual membawa unsur agama. Dan nyatanya banyak dari pemeluknya di negri kita terdiam saja. Ada keheningan yang berbicara satu sama lain di antara mereka.
Konteks Pilkada semakin membuat video ini menjadi bulan-bulanan memojokkan satu pihak tentunya. Saat CoS menjadi medium politis, tak ayal hal ini memberi poin tertentu bagi pihak yang kontra. Padahal jika ditelisik, maka apa yang digambarkan video ini adalah fakta. Mungkin karena dikeruhkan dengan intensi politis, maka tak ayal video ini dihakimi. Persis film Act of Killing (Jagal) yang sempat dilarang pemutarannya di beberapa daerah.
Penyangkalan dengan CoS merupakan cara termudah dan kontekstual. Isu seperti anti-semitism, racism, fascism, climate change, fossil fuel war, Nazi holocaust, dll pun menjadi wacana CoS di beberapa negara. Isu-isu yang begitu sensitif jika dibahas, maka menjadi konvensi penyangkalan bersama dalam keheningan.
Keheningan memang memiliki makna bukan? Ia mengkomunikasikan sesuatu yang begitu pada dengan makna dan sejarah. Sehingga saat seseorang yang begitu banyak berbicara, namun suatu saat ia terdiam. Maka pendengarnya pun akan sibuk mengartikan kesunyian ini. Jika sebelum ia berhenti bicara ada kata yang begitu 'tabu', maka tiap kepala pendengar akan mudah menginterpretasikan ribuan makna dalam kepala mereka.
Referensi: The Elephant in The Room by Evitar Zerubavel 2006