Ada hal yang implisit saya sadari setelah tulis-menulis di sana-sini. Baik untuk tulisan formal, jurnal, essai, dan skripsi/desertasi. Atau bersifat informal seperti artikel di Kompasiana dan blog saya. Ada dua aspek tujuan (purpose) yang saya dapati:
Apakah menulis itu untuk mengesankan orang? Fokusnya pada objek/pembaca.
Apakah menulis itu untuk mengekspresikan diri? Fokusnya pada subjek/penulis.
Untuk yang pertama, baik tulisan formal atau informal biasanya akan lebih lama dibuat. Mengesankan disini berarti mendapat apresiasi, nilai bahkan hadiah untuk tulisan yang dibuat. Mendapat klik puluhan ribu pun bisa menjadi motifnya. Tulisan akan lebih lama dibuat karena harus mensintesis apa kiranya yang sedang trend dan atau jadi syarat.
Contohnya seperti tugas membuat paper atau essay. Kita pasti mengerahkan semuanya untuk mendapat nilai maksimal. Mensintesis data, referensi dan jurnal guna mencari hipotesis dan konklusi yang baik. Atau saat membuat artikel untuk blog competition. Jika reportase maka butuh foto, ilustrasi bahkan wawancara dari narsum. Ditambah pula persyaratan word count, link, keywords, dll. Butuh waktu untuk membuat sesuatu yang mengesankan.
Bagi tulisan yang cenderung mengekspresikan, biasanya spontan dan berdasar apa yang paling kita suka. Sifatnya lebih fleksibel dan menjadi artikulasi dari diri. Tulisan bisa jadi serupa cermin diri Narcissus. Tulisan bisa jadi sajak, puisi, drama, cerpen, atau opini. Hasilnya adalah bisa jadi sintesis atau antitesis pemikiran dari perenungan, kebijaksanaan, curhat, pengalaman, dll.
Tidak ada aturan yang mengikat dalam mengekspresikan diri. Lebih ditonjolkannya nilai estetis dalam tulisan menjadi poin disini. Bisa pula pengetahuan/pengalaman yang kita sudah ketahui kita sadur ulang dalam tulisan. Kita susun dengan luasnya semesta makna yang kita fahami. Kita tidak ingin banyak apresiasi. Namun lebih cenderung sebagai sebuah escape dari realitas dunia yang kadang pahit.
Walau pada perspektif objek (to impress) atau subjek (to express) keduanya bisa saling tumpang tindih. Misalnya, karena seseorang adalah fisikawan disertasinya bisa saja sangat menarik. Riset dan eksperimennya adalah ekspresi dari pengalaman dan pengetahuannya. Atau pun sebaliknya, saat orang biasa yang menulis puisi namun dengan metafora yang penuh simbolisme semiotis. Penulis puisinya mungkin tidak sadar, tapi pembacanya kagum pada hal ini.
Saya selalu memegang falsafah 'tulisan kita akan menemui pembaca, nanti'. Entah itu disadur bahkan dikopas, orang sudah faham gaya menulis seseorang pada waktunya. Lambat laun pun para plagiator akan harus menulis. Akan terlihat gaya, diksi dan nuansa yang berbeda dari tulisan yang pernah ia kopas. Tinggal si plagiator saja yang harus kuat seberapa ia memakai topeng kepalsuan tadi.
Kembali ke dua tujuan kita dalam menulis, tinggal kita mau pilih yang mana. Kadang menulis untuk mengesankan orang itu sulit. Kita harus membayangkan diri menjadi pembaca/juri/guru yang akan menilai tulisan kita. Namun bukan pula mudah mengekspresikan diri dalam tulisan. Baik menjadi anonim atau diri sendiri, tidak semua orang nyaman curhat/berbagi gagasan lewat tulisan. Mungkin hal ini karena belum dilatih saja.
Tujuan ini mungkin implisit kita rasakan. Hanya saja fikiran kita akan membayangkan kata-kata yang harus kita tulis. Apakah kata yang ditulis 'mengesankan' atau 'mencerminkan'. Kata yang kita buat baiknya memberi kesan kalau kita faham akan konsep/ide/berita pada esai. Sebaliknya, apakah kata yang tersusun dalam puisi kita sudahkan merefleksikan perasaan, emosi, kesedihan, kegalauan kita.
Artikel lain tentang dunia menulis:
- Lama Tidak Menulis itu Melelahkan
- Membaca Terus, Kapan Nulisnya?
- Hampa Menulis Tulis Saja Kehampaan Itu
- What is Actually Writing?
- Menulis dengan Prinsip GWIGWO
Salam,