Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Yuk Kenali "One-Click Generation"!

Diperbarui: 28 Mei 2019   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: daily-sun.com

Pernahkah dalam satu waktu mungkin kita dongkol pada teman. Ketika sampai di kelas, ternyata dosennya tidak hadir. Padahal hari hujan dan banjir, kita sudah rela tempuh itu semua. Dan teman kita hanya bilang ,"Kan udah diumumin di grup? Dosennya ga bisa hadir." Apesnya lagi, paketan data di HP kita sudah habis.

Kita ingin semuanya di era digital bergerak dengan cepat dan instan. Seketika kita berfoto dengan artis terkenal dan kita post di Facebook. Dan dengan segera semua teman kita tahu kita bertemu dan berfoto dengan artis tadi. 

Dalam skala masif, berita tentang banjir, kebakaran, kecelakaan, dan bencana alam bisa dengan real-time kita ketahui. Saat orang tahu ada banjir, maka dengan segera di-SnapChat atau unggah Youtube plus share di Facebook/Twitter. Semua orang akan segera tahu. Aspek spontaneous dan real-time ini menjadi manfaat lebih di era digital saat ini.

Sisi manfaat ini memang diakomodasi dengan fitur one-click di smartphone kita. Ada notifikasi FB atau mention/DM di Twitter, tepat di layar smartphone. Tanpa susah harus login atau muncul halaman beranda, kita langsung diberitahu apa yang terjadi. 

Mulai dari aplikasi email, media sosial, kanal berita, bahkan game memiliki notifikasi one-click ini. Karena semua ada di bagian notifikasi, maka pilah-pilih apa yang harus dibuka begitu mudah.

Namun dampak inklandestin dari model one-click ini pun sedikit mengkhawatirkan. Saat semua notifikasi bisa dibaca dengan satu swipe atau klik, maka 'bersusah-susah' di dunia digital hal yang mungkin tidak diinginkan. 

Sebagai contoh, saat membaca email dari guru/dosen yang diberi link. Saat link terbuka maka ada windows dengan beberapa link baru. Dari link yang sudah dipilih, ada beberapa sub-link yang haru juga diklik. Sampai kita bertemu dengan tugas yang diminta untuk dikerjakan. Dan dalam tugas ini, ada beberapa bacaan rekomendasi dalam bentuk link dan unduhan.

Contoh lain adalah saat ada breaking di satu portal membuatnya ke dalam beberapa laman. Baik di komputer atau HP hal ini 'menjemukan'. Kenapa harus bersusah payah mengklik laman lain. Ditambah saat ini banyak sekali iklan pop-up yang juga menyebalkan. Saat meng-klik tanda 'X' malah terbuka laman baru. Bagaimana jika beritanya dibagi menjadi 3-5 link. Apa ada lagi iklan pop-ups ini? Akhirnya kita malas membaca berita yang terlalu rumit ini bukan?

Dan entah mengapa, model one-click ini menyusup ke dalam keseharian. Mulai dari rasa tidak sabar saat menunggu balasan chat, sampai urusan makan. Kadang kita ingin cepat dan real-time. Betapa menjemukan menunggu pesan chat yang sudah dibaca tapi belum dibalas. Kenapa belum dibalas? Ada yang salah dengan chat saya? Dan pertanyaan lainnya yang menghinggap di kepala kita yang kadang bikin pening.

Atau saat memesan makanan lewat ojek online. Kenapa lama sekali diantarkan? Padahal perut keroncongan? Dan dengan segera kita menelepon pengemudi ojek untuk segera sampai. Walau mungkin macet atau mengantri makanannya juga cukup lama. Saat makanan sudah sampai, kita pun mungkin bisa marah. Lalu mengomel-omel sendiri karena perut belum terisi.

Budaya tidak sabar mungkin sering kita temui. Sejak dulu banyak orang yang menyela antrian atau motor melalui trotoar. Namun sepertinya, model one-click ini seolah menambah subur ketidaksabaran dan asimpatik dalam kehidupan. Saat generasi kita tumbuh dengan segala yang nanti bisa cepat dan real-time, masih adakah rasa sabar dan empati? Saat ada hal yang dianggap 'lama' dalam kehidupan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline