Berlimpahnya informasi membuat kita menjadi obesitas pada informasi. Seperti mindset kita terhadap makanan. Saat makanan banyak dan berlimpah, kita pun akan makan. Walaupun kita tidak ingin makan. Tapi ada saja keinginan untuk icip-icip, ngemil bahkan nambah porsi.
Mindset inipun ada dalam memandang informasi di dunia maya. Setiap informasi yang ada harus kita tahu, kita baca, dan kita share. Semua orang dengan HP dan koneksi internet bisa mendapat dan mengakses informasi secara real-time dan cepat.
Dengan berlimpahnya informasi, kita pun cenderung ‘rakus’. Kerakusan ini pun memunculkan istilah obesitas informasi. Obesitas informasi ini didasarkan beberapa asumsi kita terhadap informasi di dunia maya, yaitu:
- Jika informasi itu baru, maka informasi itu berguna
- Jika informasi didapat dengan cepat, maka informasi ini lebih baik
- Jika informasi sederhana, maka informasi ini bermanfaat
- Searching dianggap sama dengan researching
- Informasi serupa dengan pengetahuan
- Tradisi copas (copy+paste) serupa dengan note-taking
- Menggunakan Google serupa dengan keahlian dalam literasi informasi
- Lebih banyak media, berarti media yang lebih baik
Asumsi-asumsi pada informasi diatas menjadi fenomena umum di dunia maya. Kita adalah konsumennya, sedang informasi adalah pilihan makanannya. Namun tidak semua makanan baik untuk kita konsumsi. Berita hoax, rekayasa, dan provokatif kadang kita konsumsi.
Contohnya di WhatsApp, kadang berita baru, cepat, dan sederhana akan cenderung kita konsumsi. Karena kita merasa puas dengan informasi yang kita anggap pengetahuan, maka kita pun berbagi. Cukup dengan copas, dan searching, tanpa researching kita merasa menjadi bermanfaat. Namun bisa jadi, kita terjebak dengan berita hoax.
Setiap informasi yang salah, maka yang disalahkan pun bukan pada search engine-nya (seperti Google). Namun pada searcher atau kita sebagai user. Google hanya akan meng-algoritma (menghitung dan memberikan) informasi yang khusus dan personal.
Informasi yang khusus dan personal maksudnya adalah informasi berdasarkan apa yang sering kita klik dan lihat. Jika browser saya mengetik kata ‘Mesir’ mungkin hasilnya berbeda dengan browser Anda. Saya mungkin akan lebih berisi link/gambar tentang sejarah. Bagi yang lain mungkin muncul objek wisata di Mesir.
Menjadi searcher (konsumen) yang cerdas pun mencegah kita obesitas pada informasi. Memahami dan mengetik keyword/search word tepat bisa membawa kita ke rujukan yang valid. Kita pun mengkonsumsi informasi yang tepat dan sehat.
Mindset inilah yang kini menjadi isu sentral di dunia literasi digital. Saat kita terlalu ‘akrab’ dengan teknologi, muncul perspektif determinisme teknologi. Perspektif ini serupa dengan beberapa asumsi menyoal informasi digital diatas. Atau selengkapnya bisa dilhat di artikel saya Sosial Mediamu Bukan Kalkulator Kawan!
Sehingga, kita pun perlu diet-informasi. Di artikel berikutnya, saya akan coba jabarkan dan beri tips-tips dalam ‘berdiet’ informasi.
Referensi: Digital Dieting: From Information Obesity to Intellectual Fitness. Tara Brabazon. (2013)