Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Makna Anak Membereskan Mainannya, Jangan Anggap Sepele

Diperbarui: 1 November 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Children Playing Toys - ilustrasi: parentinghub.co.za"][/caption]

Putri saya yang berusia 3 tahun saat ini sudah 'agak' malas membereskan mainannya. Ledakan kosakata yang ia miliki, membuatnya pintar membuat alasan. Ditambah, teman sepermainan yang juga malas membereskan mainan membuat putri saya ogah-ogahan. Dengan alasan karena temannya juga main tapi temannya pulang, lalu ia pilih tidak mau membereskan. Ada sekali waktu ia malas membereskan mainannya karena capek. Capek bukan ia kelelahan, namun karena kelamaan bermain. Lama kelamaan, saya sebagai orangtua juga agak senewen melihat rumah acak-acakan. Ancaman membuang mainannya pun saya lakukan. Karena saya sudah beberapa kali diperingatkan, maka pernah sekali waktu saya benar buang mainannya. Ancaman bukanlah hal yang baik. Dan saya akui itu.

Selain mengajarkan tanggung jawab pada anak, membereskan mainan saya kira mencerminkan hal lain. Hal yang kadang orangtua seperti saya sepelekan. Atau beberapa orangtua malah lebih pilih membereskan mainan anaknya daripada kesel sendiri meminta anaknya membereskan mainan. Dari waktu ke waktu, mungkin sifat ini mencegah 'konflik'. Tapi dari waktu ke waktu, anak juga memahami pola orangtuanya. Kalau ada orangtua, maka mainan akan dibereskan. Tanggung jawab anak pun diragukan bisa menjadi kebiasaan dalam hidupnya kelak. Atau malah anak bergantung kepada orangtuanya saat bermain. Karena ia tahu dan faham pola bermain. Mainan akan dibereskan orangtua.

Atau mungkin juga ada orangtua yang membentak anaknya untuk membereskan mainannya. Bisa saja dengan menangis anak akan membereskan mainannya. Apa yang mungkin terekam anak? Bermain dengan mainan berarti dimarahi orangtuanya nanti. Karena anak tidak melihat pra-bermain dan paska-bermain. Namun bermain dengan mainan adalah satu proses utuh. Saat orangtua memarahi anak tiap kali tidak membereskan mainannya, maka bermain mainan sama dengan dimarahi. Apalagi saat orangtua mengawasi, mungkin ada kesan 'monster' bagi anak. Lalu kenapa orangtua membelikan anaknya mainan jika untuk dimarahi? Senangnya anak hanya saat membeli. Namun derita anak saat bermain dengan mainannya, akan lebih menyiksa saya fikir.

Ada hal yang menarik yang saya fahami saat anak saya dan teman sepermainannya bermain. Bisa jadi, pola anak bermain dengan mainannya di rumah tercermin saat ia bermain di rumah temannya. Seperti teman sepermainan anak saya yang datang main, lalu tinggal keluar begitu saja. Walau sudah diingatkan istri untuk membereskan mainannya kalau sudah selesai, tapi beberapa kali anak ini malah ngluyur pulang. Apa mungkin si anak tadi tidak diajarkan membereskan mainan di rumah? Tidak juga. Karena beberapa kali saya perhatikan, saat orangtua si anak menjemputnya untuk pulang, si anak membereskan mainan. Tentunya dengan perintah orangtua si anak. Berarti ia mau membereskan jika diperintah orangtuanya. Jadi kesan 'monster' yang saya utarakan di atas bisa jadi benar adanya.

Hal terpenting agar kita tidak menyepelekan membereskan mainan kiranya adalah pemahaman 'konsekuensi'. Konsekuensi adalah by-product dari tidak bertanggungjawab. Saya mencoba menghilangkan, ancaman agar anak membereskan mainannya. Karena takut ia anggap saya 'monster'. Maka cukup saya peringatkan saja. Jika beberapa kali saya peringatkan, tetap saya coba tidak memberi ancaman. Saya membantunya membereskan. Tentu bukan membereskan semuanya, tapi menolong ia agar mau membereskan. Juga saya coba tidak pasang wajah cemberut saat menolongnya. Karena saya yang menawarkan bantuan, maka saya harus ikhlas. Tidak pula ada rasa kesel atau marah saat memasukkan mainannya ke kotak. Saya selalu ingat, karena saya yang mau menolongnya.

Kenapa saya yakin, jika saya menolongnya membereskan mainannya sekali, ia akan mencari saya untuk menolongnya lain waktu. Dan memang benar adanya saat ini. Terus saya coba pasang senyum dan hati senang saat menolongnya. Karena saya yakin, anak akan faham kemana harus meminta tolong. Saat ia dewasa, ia tahu kemana harus meminta tolong. Bukan ke orang lain, tetapi ayah ibunya sendiri. Karena ia ingat siapa yang membantunya saat kecil membereskan mainan. Karena mainan adalah hal terpenting saat ia kecil. Maka hal penting dan pelik saat ia dewasa, ia tahu kemana harus mengadu dan meminta bantuan.

 

Salam,

Solo, 01 November 2015

12: 29 am




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline