Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Harta, Tahta, dan Perempuan

Diperbarui: 9 September 2015   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Sexism - ilustrasi: blogs.bath.ac.uk)"][/caption]

Banyak orang, bahkan saya sendiri, mungkin aneh membaca judul 'Harta, Tahta dan Perempuan'. Kebanyakan dari kita akan langsung menyandingkan kata 'Wanita' setelah 'Harta dan Tahta'. Karena toh sudah menjadi konvensi bersama dan demi keserasian rima ' a-a-a' maka 'Wanita' tepat dirasa. Sebuah konsensus yang secara tidak sadar menjadi peng-iyaan bersama untuk istilah tersebut. Atau demi estetika rima, kata 'Wanita' akan lebih klop. Namun tidak dengan kata 'Perempuan'. Yang secara konsensus tidak umum dan secara ritmik mengganggu estetika rima.

Lalu apa salah dengan kata 'Wanita' atau 'Perempuan'? Mungkin itu yang akan coba Anda pertanyakan? Tidak ada yang salah, secara rima dalam kata 'wanita'. Namun yang coba saya garis bawahi adalah betapa sebuah konvensi kata 'wanita' atau 'perempuan' itu sudah wajar. Bahkan Anda yang kebetulan perempuan, membaca dan memahami kata 'wanita' sebagai salah satu kata ganti adalah wajar demikian. Namun sadarkah kita, jika kita sudah tidak dengan sengaja mengaplikasikan pemahaman sexist?

Wanita atau dalam etimologi Jawa berasal dari kereta-basa 'wanita = wani ditoto' (berani ditata). Mensimbolisasikan wanita sebagai 'subornasi' dari sesuatu yang menatanya. Dengan kata lain, kaum pria adalah yang menata. Dalam budaya partriarki, hal ini diangap innate atau dari sananya. Atau secara morfologis, kata 'wanita' sendiri tersirat kepriaan di dalamnya. Jika mengacu akhiran pada kata 'dermawan dan dermawati' maka imbuhan -wan mengacu pria. Maka tamsilannya, kata 'wanita' terdiri atas kata wan-ita. Dalam hal ini, acuan pria tetap ada. Hal ini juga terjadi di bahasa Inggris dalam mengacu kata ganti she. Dimana kata she tetap memiliki unsur maskulin s-he. Atau kata lain seperti female (femme-male), woman (wyf-man/wife-man) adalah beberapa contoh lain.

Bahasa Sexist, Tersirat dan Tersurat

Kajian metaforis kata 'she' dalam bahasa Inggris telah memicu kontroversi demikian panjang. Sehingga muncullah gerakan anti-sexist yang mencoba mencerabut dominasi pria dalam bahasa. Mungkin sampai ada yang mewacanakan menggati kata 'history' sebab ada possesesive pronoun (kata ganti kepunyaan) his- dalam history. Wacana yang kemudian didukung pergerakan femisme tahun 1970-an di Amerika. Dan sampai sekarang ekuilubrium yang coba dicari penganut feminis terus dibenturkan dengan kultur partriarkal. 

As we saw in discussing seminal, metaphorical etymologies that are no longer transparent -- metaphors that are not only dead but also obscured by changes in form -- can be interesting evidence of past attitudes but generally do not have a lot to do with the significance of current uses. But transparent metaphors, even if dead and not revivified in some way, can indeed still reinforce the kinds of conceptual connections that motivated their initial uses. (Ecker & McConnell-Ginet: 2003)

Dalam membahas etimologi seminal, atau metafora yang tidak lagi terlihat, menjadi bukti masa lampau yang tidak begitu berpengaruh saat ini. Namun metafora transparan, bahkan jika sudah tidak ada atau dikembalikan, tetap memiliki kaitan konseptual yang lalu mendorong penggunaan awal.

Mari kita kembali dalam konteks 'wanita' dan 'perempuan' diatas. Kedua kata ini memiliki 'kasta' dalam bahasa Melayu. Kata wanita lebih tinggi daripada perempuan. Karena merunut pemahaman 'perempuan' menurut KBBI adalah 1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Karena puki sendiri mengacu kepada organ genital wanita. Dan mungkin dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, kata ini sudah cukup deregatoris. Sedang 'wanita' sendiri adalah salin-suara dari wani ditoto dalam bahasa Jawa.

Sehingga, 'perempuan' sendiri memiliki metafora seminal yang mungkin bagi banyak orang tidak menyadari arti implisit. Dan kaitannya dengan istilah konsensus pun dianggap netral. Atau setidaknya baik-baik saja. Sedang metofora transparan dalam kata 'wanita' sendiri menimbulkan pemahaman yang jika sudah bisa difahami secara literal morfologis, terlihat maknanya. Dan bisa saja, tingkat 'kasta' yang terjadi bisa sebaliknya. Perempuan lebih tinggi dibanding wanita.

Sehingga istilah wanita dan perempuan pun dicopot pasang dalam bidang pemerintahan. Pada tahun 1987 sampai 1999 ada Mentri Peranan Wanita untuk kemudian diganti Mentri Pemberdayaan Perempuan pada 2001. Untuk kemudian diganti kembali menjadi Mentri Pemberdayaan Wanita tahun 2004. Lalu pada 2009 dicopot kembali kata 'Wanita' untuk diganti 'Perempuan'. Sedang saat ini, Kementrian ini juga merangkul Perlindungan Anak selain Pemberdayaan Perempuan.

Lalu Mau Pilih Mana, Wanita atau Perempuan?

Benturan maskulinitas dan budaya yang terus diwariskan menjadi salah satu 'serba-salahnya' kita sebagai penutur. Baik kata 'wanita' dan 'perempuan' sendiri memposisikan wanita sebagai subordinat dan objek. Dalam kata 'wanita' wanita adalah objek semata yang patut ditata oleh pasangannya. Dengan kata lain, wanita harus mau dan siap untuk ditata sedemikian rupa, berdasar pasangannya. Lalu, dalam kata 'perempuan' sendiri terdapat istilah yang deregatoris. Kata 'perempuan' mengacu pada siapa saja yang secara seksual memiliki vagina. Sehingga hal ini menimbulkan segregasi secara fisik dan seksualitas. Terlepas dengan gender atau peran dalam masyarakat. Mereka yang memiliki vagina pada akhirnya akan tetap menjadi objek 3M, Macak, Masak Manak (berdandan, memasak dan beranak).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline