Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Horor Singkat Tercekat #31

Diperbarui: 7 Maret 2016   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: irishcentral.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="520" caption="(ilustrasi: irishcentral.com)"][/caption]

Sudah seminggu, aku selalu pulang malam. Selepas mandi, anakku selalu mengajak main sebelum ia tidur. Walau sudah kelas 1 SD, ia selalu manja denganku. "Kak, itu kenapa bonekamu ditutup sarung papa?" tanyaku. "Ga apa-apa pah. Itu maunya dia!" jawabnya sambil mewarnai buku Barneynya. Penasaran, aku coba buka dan ambil sarungku yang menutupi boneka putriku. Saat ku buka sampai kepala boneka, matanya nanar. Ada helaan nafas berat dan berulang dari si boneka. Mulutnya yang terbuat dari benang berwarna hitam, menyeringai aneh. Jantungku berdegup cepat. Nafasku tersengal. Ku tutup kembali sarung yang menutupi si boneka.

- - o - -

Sudah dua malam Citra, wanita idaman hatiku menemaniku. Dulu ia tidak suka padaku. Namun rupanya, pelet dukun sakti itu berhasil membuat Citra nempel terus padaku. Kemana aku pergi, ia akan ada disana. Tapi bukan cinta yang aku tunjukkan. Melainkan rasa ngeri dan jijik. Wajah Citra berlumur darah dan senyumnya menyeringai dengan rahang yang bergantung lepas. Semua karena saat Citra kena peletku, saat itulah ia mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Kini Citra hadir di sampingku, sebagai arwah.

- - o - -

"Mbak, ayo ikut liat rumah yang aku taksir. Bawa Raka juga ya?" pinta Hera. "Lhoh, kenapa harus dengan Raka?" tanya Heny kakak Hera. "Hmm... daripada ditinggal. Kasian mba.." ujar Hera. "Yaudah, kalau gitu" Heny setuju. Setelah 1 jam, mereka sampai di rumah yang hendak di beli Hera. "Masuk mba. Kita liat-liat. Sini, aku gendong Raka" ujar Hera. "Ga usah, biar Raka jalan sendiri aja" sergah Heny. Baru saja mereka sampai pintu, Raka menangis keras. Mencoba didiamkan, Hera dan Heny masuk. Tangis Raka makin menjadi. Kini malah sesenggukan Raka menangis. Pandangan Raka seperti ketakutan. Ia hanya mau memeluk ibunya. Hera tersenyum, benar rupanya rumah ini berhantu. Benar pula usul teman kantornya. Jika balita karena memang sensitif akan mahluk halus.

- - o - -

Lamat-lamat, sinar matahari masuk dari lubang kecil tepat diatasku. Aku berjongkok dan menengadah lemah. Jika ku hitung, sudah 3 malam berganti. Puing-puing ini menjebakku jauh di dalam gedung runtuk seusai gempa 3 hari lalu. Suaraku sudah habis. Badanku sudah lemah. Kaki kananku patah di dua bagian tertimpa puing. Darahnya pun sudah habis mengering. Hanya air seniku yang ku minum sebagai penghilang haus. Dan pagi ini, ku rasakan semilir angin sejuk dan damai. Aku pasrah dan menyerah. Kematian itu serasa dekat, saat nafasku mulai tersengal. Jantungku mulai sulit bernafas. Mataku mulai rabun melihat. Badanku bergetar hebat. Aku . . aku . . .

Cerita lainnya: #1#2#3#4#5#6#7#8#9#10#11#12#13#14#15#16#17#18#19#20#21#22|#23#24#25#26#27#28#29 | #30

Salam,

Solo, 07 April 2015

10:27 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline