[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="(ilustrasi: beforeitsnews.com)"][/caption]
Kerjaan kantor hampir selesai saat jam dinding menunjuk angka 1:32 dini hari. Mata mulai pedih menatap layar laptopku. Ku tengok kamarku yang pintunya kebetulan dibiarkan terbuka. Lamat-lamat, kulihat istriku duduk di tepi tempat tidur. Kembali ku mengetik, sampai jam berdentang pukul 2:00. Ku berdiri sejenak dan menengok anakku yang tertidur bersama istriku. Istriku masih tertidur, lelap. Lalu yang tadi duduk di tepi tempat tidur siapa?
- - o - -
Sadarkah kamu, bahwa orang mati bunuh diri bukan mati karena ia terjerat lehernya. Atau karena ia menenggak cairan obat nyamuk. Ataupun karena ia menyayat urat nadinya. Mereka mati karena kesedihan yang dalam.
- - o - -
Saat Alinda putriku berusia 4 tahun, ia memiliki teman imajinasi. Alin, begitu panggilannya, menyebut sahabatnya ini Shereen. Dengan Shereen, Alin selalu asyik bermain pura-pura membuat teh di pojok rumahku. Aku kadang bergidik sendiri melihat Alin bermain seperti itu. Tapi melarangnya pun tidak membawa kebaikan. Satu malam, aku dan suamiku melihat film Sundal Bolong dengan pemeran Suzzana. Alin terbangun dan melihat kami lalu ikut menonton. Saat melihat Suzzana menjadi Sundal Bolong, Alin berkata "Mah..mah, itu... itu mirip Shereen lho.." dengan senyum simpulnya ia menatapku. Aku dan suamiku hanya diam tercekat.
- - o - -
"Win, kok gue ga suka ya halaman belakang rumah lho. Serem!" seloroh Betty. "Ah, perasaan lho aja kali Bet?" sergahku. "Beneran Win! Pas gue nginep, gue denger cekikikan dari belakang halaman rumah lho kok?" ujar Betty. "Kok gue ga pernah denger ya?" Winda mulai heran. "Pas gue tengok di kamar malem itu, lho ga ada. Terus gue liat keluar jendela. Kaya ada orang berdiri di deket pohon cemara halaman belakang rumah lho. Pake baju putih gitu." cerita Betty. Winda hanya diam. Karena ia ingat di malam itu, ia berbaju putih. Dan ia tahu, penyakit tidur berjalannya sudah sangat parah.
- - 0 - -
Sudah hampir 2 tahun rumah ini kosong. Sejak istriku berpulang, aku lebih banyak di tempat putraku di Semarang. Ku tengok kamarku. Masih rapih dan terang dengan matahari pagi. Selintas ada semerbak wangi cendana di kamar ini. Wangi yang istriku sangat sukai. Mungkin ia tahu aku datang berkunjung ke rumah ini. Ia mungkin merinndukanku.
Cerita lainnya: #1 | #2 | #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8 | #9 | #10 | #11 | #12 | #13 | #14 | #15 | #16 | #17 | #18 | #19| #20| #21| #22|#23| #24 | #25 | #26 | #27 | #28 | #29