Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

M. Nuh Menyesatkan Pemahaman Karakter Dalam Kurikulum 2013

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: crruiselawnews.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="566" caption="(photo: citraindonesia.com)"][/caption] Satu buah statement Mendikbud, M. Nuh yang membuat saya terkejut dan aneh. Dengan yakinnya, beliau merasa pendidikan di Indonesia ini sangatlah industrialistik. Bagaimana pola fikir sang mentri sesungguhnya seperti merusak esensi Pendidikan Karakter di Kurikulum 2013 yang ia banggakan. Bagaimana sesungguhnya sang Mendikbud seperti bingung menyoal apa yang ia pahami dengan karakter. Berikut statement sang mentri yang saya fikir mengusik. "Bisa saja kurikulum tidak berubah, asal industri tidak berubah, akademik tidak berubah dan sosial budaya tidak berkembang," kata Nuh di Universitas Terbuka, Pamulang, Tangerang Selatan, Selasa (14/1/2014). (berita: tribunnews.com) Statement yang saya bold tentunya sangat mudah Anda pahami. Betapa mudahnya sang mentri menganggap pendidikan Indonesia itu adalah variabel yang praktis disesuaikan dengan kemajuan. Bagaimana dengan Pendidikan Karakter yang ia ingin banggakan? Sang mentri telah menyatakan dengan pasti bahwa pendidikan di Indonesia adalah sifatnya atributif. Pendidikan hanyalah entitas yang harus dan dapat menyesuaikan perubahan industri, akademik, dan sosbud. Walau, sejatinya pendidikan adalah esensi, bukan atributif. Dan ini jelas sekali ditulis dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 1 butir ke 2: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Kata tanggap dengan jelas menyiratkan bahwa pendidikan sudah ada dalam diri seseorang. Untuk kemudian pendidikan ini dapat tanggap pada perubahan yang ada. Pendidikan adalah bekal dan dasar seseorang dalam beradaptasi terhdapa perubahan. Bukan sebaliknya, perubahan jaman akan merubah cara seseorang mendapat pendidikan. Atau lebih fatal, merubah karakter pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah pembentuk, pencipta atau pengatur aspek-aspek industri, akademik, dan sosial budaya manusia. Industri yang ada adalah hasil survival mechanism manusia untuk bertahan hidup. Bagaimana cara menggandakan dan mengefektifitaskan kinerja manusia dan performa mekanik adalah hasil olah karya manusia yang didapat dari pendidikan. Bagaimana penyusunan bidang akademik adalah hasil karya pendidikan. Untuk kemudian diatur dan dijaga kesinambungannya terhadap perubahan jaman. Kemudian, aspek sosial budaya adalah sejatinya hasil pemikiran yang didapat dari pendidikan. Untuk kemudian ditelaah dan dipahami dari jaman ke jaman. Dan sekali lagi, pendidikan adalah dasar dan esensi dari aspek industri, akademik dan sosial budaya. Ia tidak menyesuaikan perubahan masing-masing aspek. Bukan sebagai entitas atributif atau pelengkap saja. Dan sang mentri ini seakan membalik logika sederhana. Sehingga, sejatinya pendidikan adalah pembentuk karakter. Karakter ini kemudian akan berhadapan dengan dinamika aspek industri, akademik dan sosbud. Namun sekali lagi, karakter ini tidak berubah. Ia adalah esensi. Malah sebaliknya, industri, akademik dan sosbud akan disesuaikan dengan karakter yang berlaku secara umum. Perubahan bidang industri, akademik, dan sosial budaya sejatinya pasti berubah. Sesat kiranya, jika sang mentri mensimulasikan atau mencontohkan aspek-aspek diatas tidak berubah. Maka tidak akan ada namanya dinamika kehidupan. Semua akan stagnan dan mati jika aspek diatas mandeg atau berhenti. Karakter Itu Dibangun Bukan Dikembangkan Dan sekali lagi, sesat pemahaman sang mentri tentang karakter terlihat nyata dalam statement-nya berikut. Nuh menuturkan, tujuan diperbaharuinya kurikulum adalah untuk pengembangan kompetensi sikap, kompentensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan pada siswa. Ada empat standar yang diterapkan dalam kurikulum 2013 yakni standar kelulusan, standar proses, standar isi dan standar penilaian. (berita: tribunnews.com) Karakter sejatinya dibangun dan diperkuat. Sebagai sebuah bangsa, pendidikan memang diharapkan memperkuat karakter. Pada faktanya saat ini, bangsa Indonesia seperti tanpa karakter. Karakter Pancasila yang sudah dibuat dengan baik oleh fore-fathers sepertinya setengah hati diterapkan. Mapel muatan lokal hanya diberikan sedikit alokasi waktunya. Karakter seperti apa sebenarnya yang diinginkan Kurikulum 2013? Lalu buat apa dikembangkan jika dibentuk saja belum karakter bangsa ini. Sepertinya sang mentri ingin instan dengan melompati proses pembentukan karakter bangsa. Logika sederhana yaitu, dibentuk dulu baru setelah itu dikembangkan. Bukan jump into conclusion kalau karakter bangsa kita sudah terbentuk. Bingung dan akhirnya sesatlah pemahaman guru yang menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah. Praktek Dilapangan Bukan Semakin Mudah [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="(ilustrasi: crruiselawnews.com)"][/caption] "Di kurikulum 2013 kita tetapkan dulu target dan tujuannya. Tugas pemerintah semakin berat, sedangkan tugas guru semakin ringan dan efektifitas murid semakin meningkat," ujarnya. (berita: tribunnews.com) Wah, sepertinya pak Mendikbud ini tidak mau tahu fakta lapangan. Bagaimana sesungguhnya penerapan Kurikulum 2013 itu menyulitkan. Dengan waktu yang tergesa dan ingin instant, Kurikulum 2013 dibuat segera matang untuk diterapkan. Sehingga terjadi mass confusion pada taraf pendidik. Dan dengan mudahnya, M. Nuh berujar jikalau tugas guru semakin ringan? Menurut Joko, di luar kendala administrasi pada penerapan Kurikulum 2013 kali ini, kendala adaptasi siswa juga harus diperhitungkan. "Seperti kita tahu bahwa penerapan Kurikulum 2013 kali ini sangat mendesak persiapannya dan cenderung kurang matang. Padahal adaptasi siswa dengan hal yang baru membutuhkan waktu. Sampai sekarang, mereka belum dapat membedakan tema dalam setiap pelajaran. Misalnya, jika sekarang mereka mengerti setelah dijelaskan, mereka akan kembali kebingungan pada hari selanjutnya. Siswa masih kesulitan memilah-milah temanya," imbuhnya. (berita: joglosemar.co) Secara jujur kami mengatakan penerapan kurikulum ini masih banyak mengalami kendala. Terutama pemahaman guru tentang konten kurikulum ini. Hal itu karena pada kurikulum ini metode pembelajarannya agak berbeda dengan kurikulum sebelumnya, yang mengharuskan siswa untuk berfikir kritis dalam menanggapi pelajaran. Fugsi guru di kurikulum ini hanya sebagai fasilitator," ujar Syarifudin Kepala Sekolah SMA 2 Palu, Senin (23/9/2013). (berita: suarapembaruan.com) Sebenarnya, masyrakat pendidik di Indonesia seperti diombang-ambing dengan keinginan sang mentri. Pemahaman penyesuaian perkembangan secara global telah mengkeruhkan pendidikan Indonesia. Ingin seperti apa karakter orang Indonesia. Di Jepang, sekolah dijadikan sarana men-Jepang-kan seseorang. Karakter dan kebanggaan menjadi orang Jepang pun kuat karena telah dibangun lalu dikembangkan. Nilai-nilai luhur Pancasila dan kearifan lokal di Indonesia sebenarnya sudah kuat. Namun nampaknya, pemerintah hanya sibuk berkutat pada sisi fisik. Yang terus dianggarkan adalah pembangunan gedung dan pembahasan perubahan kurikulum. Bukan secara esensi memperkuat karakter dalam pendidikan. Sehingga nantinya dala pendidikan Indonesia tercermin karakter orang Indonesia. Pendidikan adalah meng-Indonesia-kan orang Indonesia. Dengan nilai luhur fikir dan budi pekerti santun yang tidak runtuh oleh arus abrasif industrialisasi global, pemahaman sesat akademis asing dan kehidupan sosial-budaya yang lalim. Salam, Solo, 14 Januari 2014 10:27 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline