Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Tuhan, Kepada Siapa Kami Mengadu Selain Kepada-Mu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Bison Amerika di KB Surabaya; foto: republika.co.id)

[caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="(Bison Amerika di KB Surabaya; foto: republika.co.id)"][/caption] Tuhan, kepada siapa kami mengadu selain kepada-Mu. Kami sudah relakan hidup bebas kami di alam liar terganti dengan usang dan karat kandang ini. Kami sudah relakan jiwa kami sebagai mahluk ciptaan-Mu yang bebas, sehingga merasakan dan berkidung pada-Mu lewat alam yang membentang. Kini harus kami relakan dengan hanya memandangi pagar dan melihat lalu lalang manusia. Mereka tersenyum dan bersuka cita. Cukup kiranya menggantikan alienasi kami. Karena kami tahu dan faham, inilah pula titah takdir hidup kami yang telang Engkau gariskan. [caption id="" align="aligncenter" width="372" caption="(Unta di KB Surabaya; foto: republika.co.id)"]

(Unta di KB Surabaya; foto: republika.co.id)

[/caption] Dan generasi kami pun, kami besarkan dalam luasnya kandang kami. Setungkup pandang tentang alam ciptaan-Mu ini, kiranya bisa mengobati penasaran mereka. Penasaran mereka tentang luas dan padangnya horison membentang, cukup hanya cerita dari kami. Melalui cerita kami, orangtua mereka kiranya sudah bisa terperi rasa penasaran mereka. Dan dalam kandang ini, mereka pun akan menghabiskan umur hidup mereka. Atau jika Engkau berkehendak lain, semoga mereka bisa melihat dan merasakan alam ciptaan-Mu jauh di luar pagar kandang ini. [caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="(Bekantan di KB Surabaya; foto: merdeka.com)"]

(Bekantan di KB Surabaya; foto: merdeka.com)

[/caption] Tuhan kepada siapa kamu mengadu selain kepada-Mu. Saat anak-anak manusia itu tersenum ceria memandangi kami di luar kandang, kami sesungguhnya menyimpan sayatan duka dan tetesan air mata. Kepedihan yang tidak mungki terperi saat kami meregang nyawa kami. Kami lapar kami haus. Kami lelah dan jengah berjalan berputar di kandang ini. Perut dan badan kami tidak sanggup lagi menerima makanan yang bukan layak kami makan. Kami tetap makan, karena kami mau hidup. Namun, makanan ini malah menjadi petaka nyawa kami. [caption id="" align="aligncenter" width="472" caption="(Harimau Sumatra di KB Surabaya; foto: siaga.com)"][/caption] Saat kandang ini, yang sudah kami hidupi sebagai alam liar kami, mulai usang dan lapuk. Apakah mereka para pengurus kandang ini, tahu. Sedang mereka bisa tidur dan beristirahat dengan nyaman di tempat mereka berada. Badan kami diterpa angin dan hujan. Saat mulai menggigil hanya hangat mentari Tuhan yang mampu mengobati dingin ini. Saat, nyawa sudah diujung dingin kaki-kaki kami. Apakah para pengurus kami tahu kami mencoba menangkup nafas-nafas terakhir kami. Nafas yang sudah begitu berat dan pendek. [caption id="" align="aligncenter" width="397" caption="(Singa yang Mati Di KB Surabaya; foto: tempo.co.id)"]

(Singa yang Mati Di KB Surabaya; foto: tempo.co.id)

[/caption] Kami ingin berteriak. Tapi lengkingan kami kesakitan rupanya tidak terdengar mereka. Para pengurus hanya terus sibuk dengan rutinitas mereka. Karena lengkingan kami hanya bisa terfahami dengan tulusnya hati dan besarnya empati, kiranya mereka yang mengurusi kami tidak memiliki semua ini. Lengkingan yang jika malam hari mulai tertarik ke dalam kerongkongan. Karena nafas kami tersengal. Karena nafas kami sudah habis dibenturkan kejamnya malam dan buruknya rasa perduli. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(Macan Tutul KB Surabaya Mati; photo: mongabay.co.id)"]

(Macan Tutul KB Surabaya Mati; photo: mongabay.co.id)

[/caption] Tuhan kepada siapa kami mengadu selain kepada-Mu. Saat badan wadag kami tergeletak mati di ujung kandang ini. Siapa yang harusnya kami salahkan? Kami para hewan yang pernah menghuni kandang tadi, hanya bisa pasarah. Mungkin inilah takdir-Mu. Mungkin inilah titah hidup yang Engkau gariskan pada kami. Kami adalah potret betapa manusia adalah serba kuasa di alam-Mu yang membentang. Betapa kuasa manusia pada hewan tak berbatas. Tidak ada lagi kuasa Tuhan mencabut nyawa kami, karena manusia telah melakukannya. [caption id="" align="aligncenter" width="437" caption="(Seekor Jerapah Mati di KB Surabaya ; foto: korannusantara.com)"]

(Seekor Jerapah Mati di KB Surabaya ; foto: korannusantara.com)

[/caption] Adakah salah kami, sehingga mereka membiarkan kami sesakitan di kandang kami? Adakah silap kami, sehingga lengkingan kematian kami tiada mereka dengar? Dengan wajah muram dan kelabu, kami kembali menghadap-Mu. Saat badan kami tergeletak tanpa nyawa diujung kandang ini. Semoga dapat menjadi hikmah. Agar setidaknya, anak-anak kami nanti didengar dan difahami sakit mereka. Didengar dan difahami cara mereka merawat kami. Dan, semoga anak-anak kami, tidak mati berkalam kelabu seperti kami. [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="(Harimau Sumatra Mati di KB Surabaya; foto: detik.forum.com)"][/caption] *Sedikit suara hati hewan Kebun Binatang Surabaya semoga menjadi renungan bersama. Salam, Solo, 13 Februari 2014 03:40 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline