Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Pendidikan Kita, (Tidak) Cetar Membahana

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(source: seattletimes.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="296" caption="(source: seattletimes.com)"][/caption]

"Cuma dua bisnis yang tidak akan pernah rugi; Kesehatan dan Pendidikan"

Saya lupa siapa pernah mengucap kutipan diatas. Namun menyusuri fenomena umum terjadi, saya beranggapan kutipan ini menjadi benar adanya. Bisnis bidang Kesehatan yang saya ambil contoh adalah Rumah Sakit, yang tentunya tidak akan pernah sepi pasien. Terlepas bidang Kesehatan yang saya bukan ahlinya (hanya silent reader..hehehe), saya hanya membahas bidang Pendidikan saja. Bisnis bidang Pendidikan yang umum dijumpai, yaitu sekolah sudah menjadi kewajiban seluruh warga negara mengenyam pendidikan. Dari segi ekonomi, kedua bidang tersebut memang cukup menjanjikan. Apalagi dunia pendidikan Indonesia selalu menganut 'kebaruan'. Silih bergantinya mentri Pendidikan pun seiring paralel mengganti 'konstelasi' pendidikan yang ada. Baik dari mulai kurikulum sampai kepada buku ajar. Bahkan, penulisan buku ajar pun sudah menempati anggaran besar 27 M (Tempo.co.id). Itu baru penulisan, belum pencetakan sampai pendistribusian. Sebuah nominal fenomal yang tentunya diraup pihak-pihak terkait (baik BUMN maupun Swasta). Tentunya kita tidak lupa atas keterlambatan cetak soal UN SMP (antaranews.com). Sudah berapa banyak duit yang tercecer selama prosesnya? Dalam RAPBN 2013 diembos besar-besar kalau anggaran bidang Pendidikan mencapai 331 Triliun (berita: setgab.go.id). Sebuah angka fenomenal yang digembor-gemborkan 20% daro RAPBN baru. Fakta riilnya, dana BOS yang digadang menjadi 'penolong' finasial siswa, tetap saja ditilep (berita: tempo.co.id). Pernah saya berbincang dengan teman sejawat pendidik, kalau Depdikbud 'bingung' mau diapakan dana ratusan triliun ini. Sehingga dibuatlah pelatihan-pelatihan, bukan fiktif cuma direkayasa. Pelatihan guru di hotel mewah yang dibuat 3 hari menjadi 1 hari saja. Lha, yang 2 hari dibagi-bagi ketika absensi dan peserta cukup tahu dan peserta juga cukup diam saja. Secara mikro, orang tua siswa baru (baik sekolah dasar maupun menengah) sekarang di hadapkan dengan biaya masuk sekolah yang mahal. Untuk masuk SD saja, disekitaran Solo, yang saya dengar dari ibu-ibu tetangga sudah ada di kisaran Rp. 5-7 juta. Dengan beragam istilah seperti uang gedung, uang pangkal, sumbangan sekolah, bla...bla..bla orang tua tidak punya pilihan lain selain merogoh kantong dalam-dalam demi sekolah anak. Belum hal lain seperti seragam sekolah. Siswa sekarang yang saya amati sudah banyak sekali varian seragamnya. Walaupun ada himbauan pelarangan pemaksaan pembelian seragam sekolah seperti di Kudus (berita: suaramerdeka.com), namun dengan beragam alsan pasti ada celah agar siswa mau dan harus membeli seragam. Dengan dasar 'menyamarkan' strata sosial di sekolah, seragam belum dapat melakukannya. Lha wong, siswa sekolah sekarang yang dilihat bukan seragamnya, tapi gadget, HP, aksesoris, bahkan tas sekolah yang mereka bawa menjadi 'tanda' kelas sosial mereka. Pastinya, karut-marut komersialisasi pendidikan ini juga tidak semua diuntungkan. Ada beberapa sekolah yang tidak up-to-date (khususnya swasta) akan pula gulung bangku sekolah (karena  tidak pakai tikar di sekolah..hehe). Di sekitar Solo pun, sudah banyak sekolah swasta yang minim peminat bahkan gulung tikar akibat sekolah swasta lain yang lebih up-to-date. Tentunya minim peminat untuk sekolah negri jarang ditemui. Serupa apapun wajah pendidikan Indonesia, tetaplah diterima dan dipaksakan ditelan oleh generasi saat ini ataupun mendatang. Pola fikir penentu kebijakan tentunya dapat merubah raut semrawut wajah pendidikan Indonesia, menjadi gilar gumilar membahana. Itupun jika para penentu kebijakan ini mau dan ingin melihat secara riil yang terjadi di lapangan. Karena nampaknya, para penentu dibungkam dengan angka dan sajian statistik 'staff ahli' mereka yang berprinsip ABS. Sedang di lapangan masyarakat menjerit sampai habis suara di tenggorok. Solo, 27 Juni 2013 1:24 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline