Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Kursi Itu Untuk Wakil Rakyat Atau Wakil Partai?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: economist.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="476" caption="(ilustrasi: economist.com)"][/caption] Sebuah pemandangan mahfum, dimana para pejabat dan petinggi negri ini selalu berseloroh 'Mereka adalah wakil rakyat' Benarkah demikian? Jangan-jangan mereka adalah wakil partai? Atau malah jangan-jangan wakil dari para 'dewan jendral' yang menjalankan negri ini dari belakang panggung. Para wakil yang dari beragam parpol memiliki satu kesamaan visi. Yaitu membangun. Membangun negri ini apa adanya. Sembari membangun diri, kaum, golongan, partai, oknum dan semua yang mereka kenal. Rakyat? Mungkin menjadi nomor kesekian dari daftar panjang yang mereka 'wakili'. Kejenuhan dan kejumudan problem negara ini berkutat pada masalah korupsi dan koruptor. Satu masalah korupsi terungkap. Beberapa terduga korupsi ditangkap. Satu saja yang kemudian menjadi 'tumbal'. Dan lambat laun, nama yang terucap dari tersangka korupsi, seperti lenyap. Mereka menyangkal dan lihai memainkan lidah mereka untuk bersilat dan berjumpalitan. Pencatutan nama adalah pencemaran nama baik dan fitnah. Mirisnya lagi, koruptor pun di hukum sepele dan remeh temeh. Hukuman penjara yang minim plus remisi dan potongan masa tahanan lainnya menjadikan penjara hanya tempat pindah tidur. Sedang tidur pun sudah sangat wah dan mewah. Fasilitas tersedia dan semua keinginan bisa di dapat di dalam penjara. Semua terkait lobi dan kemampuan bersilat dalam birokrasi para mantan pejabat yang dipenjara. Rekan petinggi dulu bisalah melobi orang ini-itu untuk kemewahan selama di penjara. Hebatnya, oknum-oknum yang memberi kemewahan dalam penjara tersangka koruptor seperti hantu. Ada menurut nalar awam. Namun tiada menurut rantai birokrasi negri ini. Kacang Lupa Pohonnya! Bicara jumlah kursi di DPR nanti dari parpol hijau, putih, merah atau biru seumpama membicarakan entitas tapi membuang penciptanya. Ingat, kursi empuk yang pejabat dan petinggi parpol nanti adalah tercipta dari suara yang rakyat berikan. Pejabat yang berlomba dan berambisi menduduki kursi itu seperti lupa siapa pencipta posisi mereka nanti. Yang mereka tahu adalah jumlah kepala rakyat pemilih dalam angka jutaan atau puluhan juta. Suara yang diberikan adalah angka-angka dan justifikasi murahan mencapai tampuk kekuasaan. Harusnya mereka malu dan sedih. Semakin banyak suara rakyat untuk Caleg, semakin berat amanah yang dibawa mereka nanti. Dan, semakin menjadi keharusan janji manis mereka saat kampanye tercipta. Kenyataannya malah, mereka dengan bangga berceloteh "Pemilu 2014 ini, dari Dapil Jateng kita akan mendapat 15 kursi DPR" atau "Kita targetkan 10 kursi DPR dari Dapil kita"...bla..bla..bla. Yang seperti merasa bangga dengan banyaknya suara mendukung parpol mereka. Semakin bagus pula 'citra' parpol mereka. Mereka lupa atau memang melupakan siapa yang memberikan posisi mereka nanti. Rakyat. Semakin jumawa pula jika meraih sekian puluh juta suara dari Dapil ini-dan-itu. Dan melupakan esensi pilihan kami untuk parpol. Sebuah keinginan sederhana agar negara ini sejahtera. Bukan malah partai yang semakin sejahtera. Amanah yang terkandung dari tiap coblosan di surat suara rakyat adalah beban. Beban untuk menunaikan janji dan 'kerja nyata'. Beban untuk sebaiknya membuat rakyat sejahtera. Sekali lagi, bukan partai yang sejahtera! Seumpama kacang, para pejabat negri ini lupa pohonnya. Bukan lagi kacang lupa kulitnya. Karena mereka merasa sudah habis-habisan saat berkampanye. Saat menjabat adalah waktu mereka bersantai dan bersendau gurau. Dengan rekan satu parpol atau lain parpol. Seumpama seorang yang diterima kerja, celotehan mereka serupa "Wah, lolos juga kamu sampai DPR!' atau "Keren bisa sampai DPR, berapa juta suara dulu pak dapetnya?" Menyedihkan. Menjabat di negara ini adalah karena ada kesempatan untuk bisa mencapainya. Bukan karena keinginan untuk memperbaiki negri ini. Walau minoritas wakil rakyat ada yang memang mewakili. Semua tenggelam karena buruknya mayoritas. Seperti sebuah mutiara yang tenggelam dalam lumpur berbau busuk. Yang kami tahu adalah, kami tidak tahu apa yang kalian kerjakan di kursi empuk. Yang katanya parpol yang pro-rakyat kog korupsinya melejit tinggi. Yang katanya suara parpol adalah suara rakyat, lho kok malah terbanyak kadernya diciduk KPK. Yang katanya kerjanya nyata, kog malah ikut ngelawak di televisi dan jadi bintang iklan. Dan beragam cibiran seronok untuk para 'wakil rakyat'.

"If voting made any difference they wouldn't let us do it." - Mark Twain

Salam, Solo 03 April 2014 12:50 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline