Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Raeni, Wisudawan Terbaik yang Diantar Becak Ayahnya ke Acara Wisuda

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: unnes.co.id - credit Lintang Hakim)

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="(foto: unnes.co.id - credit Lintang Hakim)"][/caption]

Menggetarkan hati dan menggeliatkan air mata simpati setelah saya membaca artikel ini. Sebuah artikel yang memotret betapa bangganya seoarang wisudawan ber-IPK 3,96 diantar ayahnya yang tukang becak menghadiri wisuda di Univeritas Negri Semarang (UNNES). Betapa perjuangan seorang ayah yang cuma tukang becak dibalas indah oleh anaknya. Dengan rasa tidak sungkan diantar langsung dengan becak ayahnya, si putri diantar menuju tempatnya wisuda. Dan dengan kejujuran dan keihlasan, sang ayah dengan raut wajah bangga mengantar putrinya dengan becak. Betapa luhur budi bakti si putri pada ayahnya. Dan betapa bangga si ayah pada putri yang sudah meluhurkan keluarga dengan prestasinya.

Perhatian para keluarga wisudawan dan puluhan wartawan langsung tersita pada Raeni, Selasa (10/6). Pasalnya, wisudawan dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Unnes ini berangkat ke lokasi wisuda dengan kendaraan yang tidak biasa. Penerima beasiswa Bidikmisi ini diantar oleh ayahnya, Mugiyono, menggunakan becak. (berita: unnes.ac.id)

Semua Berawal Dari Rumah

Saya sangat meyakini kalau pendidikan semua berasal dari rumah. Semua hal yang disebut IQ, EQ, atau pun SQ sulit rasanya dicapai disekolah. Atau malah dicari di institusi pendidikan lain seperti Bimbel, Taman Pengajian, atau malah Sekolah Etika sekalipun. Dirumahlah semua pendidikan dimulai. Semua untuk memenuhi bekal hidup seorang anak di jamannya sendiri. Orangtualah yang patut disebut guru sejati seorang anak. Bentukan dan karakter keluargalah yang menjadikan anak unggul di luar rumah.

Raeni yang notabene berasal dari keluarga kurang mampu berhasil membuktikan diri menjadi pribadi yang unggul. Ayahnya yang hanya seorang tukang becak tidak menyurutkan diri menjadi pribadi unggul.  Keluarganya yang memang apa adanya, malah membuatnya bangga. Ayahnya dengan becaknya mengantarkan dirinya wisuda. Rasa jujur dan ikhlas berbakti pada keluarga tidak ingin dia ingkari dengan rasa gengsi dan malu. Raeni berdiri jujur dan apa adanya. Dan ini yang saya rasa merefleksikan, bahwa masih ada generasi unggul di Indonesia.

Bukan hanya dari kelurga yang mampu menyekolahkan anak di sekolah-sekolah internasional. Sehingga menelurkan generasi yang mengeyam semua fasilitas dan pra-sarana yang bias dipenuhi. Anak-anak yang selalu didukung financial yang cukup bahkan lebih. Dan saya fikir sudah cukup banyak dari keluarga kaya dengan anak-anak berprestasi. Dukungan keluarga plus dana yang cukup baik, wajar menjadikan mereka unggul.

Sekaligus, kisah Raeni ini mengabarkan bahwa keluargalah yang terpenting buat anaknya. Kadang anak dari kelurga kaya atau mampu pun malah keblangsak. Anak-anak mereka tidak jadi apapun kecuali menyusahkan orangtuanya. Pola asuh waktu kecil dan pola didik saat tumbuh semua diserahkan pada pihak lain. Anak mereka diasuh asisten rumah tangga atau orang lain. Pola didik dipasrahi sekolah dan guru. Merasa yakin mereka tumbuh dengan baik, orangtua sering cuek dan tutup mata pada apa yang ada pada anak. Mereka pun sibuk dengan kerja dan mencari uang.

Pada Mahasiswa Di Mana Saja

Dan untuk mahasiswa dimana saja kalian berada. Kisah Raeni ini patut jadi landasan dan inspirasi kalian untuk menjalani kuliah. Saya yakin banyak mahasiswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dan untuk menguliahkan anaknya, orangtua rela menjadi buruh atau kerja apapun asal anaknya sekolah. Semua demi satu cita-cita luhur orangtua. Agar anaknya menjadi lebih baik daripada orangtuanya. Agar hidup mereka ke depan bisa lebih sejahtera daripada hidup orangtuanya saat ini.

Sayangnya, mahasiswa kadang malu dan terlarut dalam kekurangan ekonomi. Sehingga studi dan kuliah mereka terkatung-katung, Banyakpun mereka malu dan sungkan dengan keluarga, sehingga dalam pergaulan lebih pilih menyediri. Lebih suka diam dan kurang aktualisasi diri. Begitu terlarut dengan kondisi kurang dari keluarga, fikiran mereka lebih banyak mengawang-awang untuk segera bekerja. Segera menafkahi keluarga, namun mengesampingkan prioritas studi. Mengesampingkan pula cita-cita sederhana orangtua agar anaknya mengeyam bangku kuliah. Dan menyandang gelar minimal S1 untuk hidup mereka nanti.

Kisah Raeni sebaiknya menjadi contoh prioritas diri. Menjadi mahasiswa unggul tidak harus disokong financial yang baik. Beasiswa sekarang sudah banyak dan hanya perlu tekun mencari. Raeni yang mampu dan tekun berhasil mendapat beasiswa Bidikmisi. Dan semua membutuhkan ketekunan dan konsistensi dalam studi. Bertanggung jawab atas studi sendiri dan konsistensi meraih nilai, adalah harapan dari semua pemberi Beasiswa. Dan tentunya, tujuan utama mencetak generasi unggul.

Terbukti, kisah Raeni menjawab kesangsian mahasiswa miskin tidak layak sekolah. Sebaliknya, dengan taraf ekonomi yang apa adanya dengan ketekunan mencari dan menjalani Beasiswa serta konsistensi dalam berbakti dan studi, ia berhasil menjadi unggul. Menjadi pribadi yang unggul dengan kejujuran, ketekunan, dan bakti penuh pada orangtua. Orang yang telah dengan baik mendidiknya. Semua berawal dari rumah.

“Selepas lulus sarjana, saya ingin melanjutkan kuliah lagi. Penginnya melanjutkan (kuliah) ke Inggris. Ya, kalau ada beasiswa lagi,” kata gadis (Raeni) yang bercita-cita menjadi guru tersebut.

Salam,

Solo, 11 Juni 2014

11:51 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline