Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Saya Cemas Jika Prahara Nanti Berkuasa, Anda?

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: meetville.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="(ilustrasi: meetville.com)"][/caption] Cemas. Mungkin satu kata yang bisa mengungkap semua gaduhnya Pilpres 2014 kali ini dalam fikir publik. Walau kecemasan (anxiety) itu sebuah relatifitas semu di masa datang. Namun, melihat kegaduhan dan sensasi kubu Prabowo-Hatta dengan semua manuvernya, tentu ada kepastian (certainty) yang terbersit. Jika dimulai dengan 'menghalalkan' semua cara seperti ini? Bagaimana jika berkuasa atau menjadi kepala negara nanti? Apakaha Prahara akan bertindak sama? Menjegal sana-sini, menelikung sana-sini, dan bergerak senyap dimana-mana. Pilpres seolah medan perang. Semua taktik, kotor maupun rapih, diluncurkan. Dari taktik perang terbuka sampai gerilya dilakukan. Lalu setelah berkuasa bagaimana jadinya Indonesia? Istilah sederhanaya, publik menjadi terbersit 'su'udzon' atau syak wasangka. Pilpres 2009 atau Pileg 2014 lalu Quick Count (QC) tidak membuat gaduh. Kini QC menjadi momok media portal berita. Nila setitik merusak susu sebelanga.  KPI pun bertindak prefentif. Semua TV berita dilarang menyiarkan hasil QC bahkan Real Count ala Timses. Publik gaduh karena dua presiden ala QC muncul. Bahkan QC dari lembaga RRI-Antara pun menuai stigma. Dan sempat diprotes anggota Komisi II DPR dengan alasan RRI adalah lembaga negara yang tak pantas mengolah QC. Publik gaduh dan cemas. Kubu Jokowi-JK tidak reaktif. Jokowi lebih pilih tanggap 'krisis' dengan tidak memperkeruh suasana. Di lain kubu, Prabowo malah bertindak kebalikan. Dengan wajah cemas dan menyimpan amarah, menjawab sembarangan wawancara BBC. Semena-mena mengaku dirinya adalah Presiden pilihan rakyat. Sekejinya pun, menstigma Jokowi sebagai orang yang penuh pura-pura. Semua adalah polesan media dan PR. Dengan tergagap dan terbata, seolah semua buncahan emosi Prabowo keluar. Publik pun membayangkan. Bagaimana Prabowo jika menjadi Presiden. Diwawancarai saja tidak menampakkan sifat negarawan, apalagi seorang mantan Jendral. Publik pun terheran. Karena setelah wawancara dengan BBC itu terjadi. Sampai sekarang Prabowo langsung. Atau bahkan dari Timsesnya yang selama ini membela dengan keras. Mereka diam dan menyibukkan diri sendiri. Publik pun cemas? Yang ada dan baru saja terjadi, Prabowo-Hatta malah membuat deklarasi koalisi permanen. Koalisi Merah Putih pimpinan Prahara merapatkan barisan guna menghadapi 'jahatnya' pemerintah Jokowi-JK nanti. Seolah ada ketakutan tersendiri jika JKW-JK menjadi kepala negara. Manuver kotor pertama pun diluncurkan. Muncullak Rancangan UU MD3. Semua demi satu cita-cita koalisi ini "Yang Penting Bukan PDI-P!" menjadi ketua MPR/DPR nantinya. Yang mereka mau seolah-olah, orang-orang dari koalisinyalah yang dipilih. Publik pun cemas. Ada apa ini? Kenapa tergesa dan terlihat manuver kotor anggota Dewan dalam kubu Prabowo? Apa lagi yang mereka mau korupsi, eksploitasi, dan gerogoti di MPR/DPR 2014-2019?

"Niatnya memang sudah jelek banget, jahat. Mereka berkoalisi menjegal PDI-P agar tak jadi ketua DPR," kata Ikrar (Nusa Bakti), saat dihubungi, Senin (14/7/2014).

"Niat Koalisi Merah Putih memang hanya untuk menjegal supaya Jokowi-JK tidak bisa menjalankan pemerintahannya. Itu menunjukkan bahwa orang yang ada di koalisi itu otaknya jahat semua," ujarnya. (berita: kompas.com)

Sungguh pun, sudah banyak orang yang mencoba memberikan dorongan moril untuk Prabowo. Dalam hal ini dilakukan oleh orang awam maupun publik figur. Agar Prabowo bisa legowo dan ksatria agar mau menerima kekalahan  jika hasil RC KPU memenangkan kubu Jokowi. Doa pun terjuntai dan terpanjatkan untuk Prabowo. Semua ingin aman. Saya yakin publik pro-Prabowo pun demikian. Hanya oknum dan otak elitis politik sajalah yang menginginkan ambisi ini terpuaskan. Publik pun perduli suasana kondusif. Ada yang menulis surat terbuka untuk Prabowo. Semua diatas, tujuannya hanya satu. Agar kecemasan (anxiety) ini tidak menjadi kepastian (certainty). Atau malah lebih buruk, menjadi tirani (tyranny). Salam damai, Solo, 14 Juli 2014 10:28 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline