Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Wajah-Wajah Baru Sekitar Kampus

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="(ilustrasi: personal-art.me.uk)"][/caption] Berjejer para pendaftar di gedung Admisi di kampus saya. Dari yang seperti didampingi orangtua sampai yang didampingi teman atau kakaknya, dengan sabar menunggu di depan loket keuangan bank. Ada semburat wajah lesu yang saya lihat. Orangtuanya sibuk berbicara ngalor-ngidul, sementara calon mahasiswanya diam saja. Ada pula wajah antusias yang penasaran. Buka-buka leaflet dari tiap Prodi. Atau sekadar bertanya-tanya pada petugas admisi. Sebuah pemandangan yang hampir tiap hari selama hampir 8 bulan saya lihat. Wajah-wajah baru di kampus. Kebingungan dan antusiasme yang berbaur rumitnya administrasi. Ada sebuah kekhawatiran dan memori tersendiri buat saya memandangi dan coba memahami mereka. Sebuah kekhawatiran sederhana seorang gurunya mahasiswa. Semoga mereka tidak salah memilih jurusan. Itu saja. Memilih jurusan yang memang menjadi esensi dasar mengikuit perkuliahan. Seolah kuliah di tempat yang bukan dipilih atu diminati, seperti zombie. Fisiknya memang ada di kelas, tapi fikiran mengawang entah kemana. Sebab musabab yang salah jurusan adalah kegagapan akan minat dan bakat diri sendiri. Muncul akibat penjurusan SMA dahulu. Atau karena memang tidak ada pilihan lain. Daripada tidak kuliah sama sekali. Kurangnya bahkan minimnya panduan orangtua saat mencoba memahami bakat dan minat anak dimulai sejak dini. Keengganan dan kesibukan orangtua justru menambah akumulasi kebingungan anak. Jatuhnya, orangtua percaya sepenuhnya kepada sekolah untuk memahami minat dan bakat orangtua. Merasa sudah membayar banyak atas jerih payahnya membayar SPP sekolah dan semacamnya. Orangtua ingin anaknya menjadi individu mandiri saat lulus SMA nanti. Yang saya lihat, jiwa dan pribadi mereka seperti anak yang masih manja. Manja yang ditunjukkan dengan kebingungan bahkan ketidaktahuan atas minat dan bakat sendiri atas satu bidang ilmu. Yang memang sangat difokuskan saat kuliah. Ada sebuah memori tersendiri pula melihat wajah-wajah mereka. Bagaimana saya dulu bingung saat mendaftar. Bukan bingung seperti saat ini. Bingung mencari biro keuangan dan administrasi yang beda tempatnya. Untungnya, sekarang menjadi satu tempat. Sebuah memori yang kembali muncul saat dahulu mendaftar menjadi mahasiswa. Kuliah di jurusan yang benar-benar saya ingini. Bahkan saat saya masih duduk di SMP. Menjelajahi dan memahami dunia kebahasaan. Bahasa Inggris tepatnya. Sebuah dunia yang sejak dulu memesona dan mengikat saya dengan semua daya tariknya. Bahasa yang aneh dan unik. Bahasa yang selalu aktual sebagai bahasa pemersatu bangsa. Sebuah bahasa yang menjadi tiket menjadi penduduk dunia. Saya yakin masih ada mahasiswa yang masih haus ilmu. Ilmu yang menjadikan manusia ditinggikan martabatnya. Dengan tinggi ilmu, saya yakin tinggi pula rejekinya. Orang berilmu pasti rejekinya tidak jauh dengan ilmunya. Tinggal pintar atau tidak si empunya ilmu. Dan, selamat datang pencari ilmu. Selamat datang mahasiswa baru. Salam, Solo 14 Agustus 2014 02:09 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline