Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Sampai Kapan Hukum Indonesia Mengecewakan Kita?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: montrealgazette.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="372" caption="(foto: montrealgazette.com)"][/caption] Sudah menjadi tangis yang mengering, meratapi mlempemnya hukum di Indonesia. Supremasi hukum diatas segalanya terkesan ditindas praktik laten dibelakang meja hakim. Hukum bisa disumpal dengan sejumlah uang. Hukum bisa diotomasisasi sesuai keinginan pejabat dan cukong berkuasa. Kepastian hukum dan hukuman serasa hambar jika persidangan sudah diulur kesana-kemari. Persidangan yang semakin lama dan rumit tidak semata menumpuk bukti memberatkan hukuman. Yang terjadi, hanya utak-atik masa tahanan dan memperlama intervensi laten para mafia di belakang meja hakim. Sudah cukup lama publik menanti, sampai kapan hukum bisa benar-benar tegak. Butakan saja hukum. Sehingga ia tidak akan tebang pilih siapa yang harus dijatuhi hukuman. Seorang nenek mencuri batang pohon sepele saja dihukum tahunan. Sedang koruptor berkedok pejabat negara, dihukum sangat remeh. Sedang dinasti dan sistem korup mereka terus berjalan. Sedang sang nenek meringkuk sedih merasakan hukum sebenarnya. Hukum rupanya masih melek di negara ini. Hukum bisa melihat dan memilih siapa yang akan dijatuhi hukuman. Hukum seolah sungkan jika memberikan ketok hukuman terberat di depan para aparatur negara. Sedang, buat rakyat hukum seolah merasa jumawa. Hukuman terberat adalah contoh bagi rakyat agar tidak mengulang lagi tindak kejahatan. Karena yang kita harap hukuman kejahatan luar biasa harusnya luar biasa. Faktanya, hukuman sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan hukuman ringan dan sepele untuk para koruptor. Koruptor seolah tertawa dalam hati saat persidangan. Karena kroni dan dinasti korup mereka telah dengan lantang menggedor pintu hukum. Memaksa dan menodong hukum untuk bisa santun di depan para koruptor. Di ruang sidang memang tidak terjadi apa-apa. Namun dalam pandangan sang tersangka koruptor. Mereka sedang menodong moncong senjata ke kepala para hakim. Jika ada yang macam-macam, tinggal tarik pelatuk. Sang penghukum tamat. Seolah yang diinginkan hukum adalah kita merasa paling benar. Hanya merasa paling suci, di negri ini. Kepastian benar itu hanya wacana semata. Seolah kita merasa senang jika seorang koruptor tertangkap. Setelah dalam persidangan, yang dinanti pastinya kekecewaan. Hukum sekadar memamerkan bisa menangkap, namun tidak menghukum. Kepastian hukum adalah kepastian akan kekecewaan pada hukum itu sendiri di negri ini. Akankah pemerintahan baru bisa benar-benar memberi ranah yudikatif kekuatannya kembali. Membutakan hukum dan mengembalikannya kepada supremasi tertinggi. Memberinya arah dan membuatkannya kuasa tertinggi atas hajat hidup negara ini. Saat ranah legislatif sudah terlalu kotor dipenuhi tikus-tikus koruptor. Saat ranah eksekutif sudah dipusingkan dengan latennya kepentingan Parpol. Ranah yudikatif seolah terpenjara ditangan banyak oknum. Menjadi bancakan para oknum. Oknum yang berkuasa dan berpengaruh. Oknum yang memiliki uang dan modal. Dan oknum yang menggadai negri ini demi nafsu berkuasa. Sudah, butakan saja si hukum kembali. Harapan saya untuk pemerintahan baru. Salam, Solo, 2 September 2014 10:52 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline