Di tahun 2011 lalu, 43% penjualan hand-held (HP) BlackBerry hanya untuk Indonesia saja. Sebuah rekor yang luar biasa jika ditengok ke belakang. Dimana BlackBerry menjadi smartphone idola orang Indonesia.
Dimana rata-rata orang berpunya menenteng BlackBerry di masa jayanya. Masa dimana, orang Indonesia mulai jenuh dengan Nokia dan operator lokal yang itu-itu saja. BlackBerry adalah smartphone canggih sekaligus pelengkap gaya hidup.
Sayangnya, semester awal 2014 ini, penjualan HP BlackBerry terjun bebas menjadi 3% saja di Indonesia. Bahkan tertinggal dari market share dari HP lokal seperti Advan, Evercoss dan bundling Smartfren.
Dengan jebolan anyar BlackBerry Passport dengan tombol QWERTY lawasnya. BlackBerry seolah salah kaprah sejak pertama kali kebijakannya menjejaki pasar internasional. Bahkan di pasar Indonesia sendiri, beberapa blunder fatal telah dilakukan vendor telekomunikasi Canada ini.
Mencoba menjual hand-held dengan kebijakan yang terpusat di Waterloo, adalah blunder fatal. Apalagi setelah terjadi kekisruhan internal Research In Motion yang akhirnya diubah menjadi BlackBerry saja di tahun 2013 lalu.
Di Indonesia sendiri, kebijakan sentralistik BlackBerry di Waterloo telah nyata memakan korban. Tiga orang mengalami patah tangan saat berdesakan mengantri peluncuran BB Belagio atau Bold 9790 Desember 2011 lalu. BB Belagio yang di-promo setengah harga, hanya dijual 1.000 unit. Antrian pembeli pun mengular.
Orang takut tidak kebagian. Kerisuhan sampai saling injak pun terjadi. Satu orang dari RIM dan satu orang dari Mall Pacific Place ditangkap pihak kepolisian. Hal ini blunder fatal BB di Indonesia ucap mantan direktur BlackBerry untuk Indonesia, Andy Cobham.
Menurutnya, direksi disana (Waterloo), terus memaksakan opsi jual 1.000 unit dengan mengantri. Walau pihak otoritas setempat sudah memperingatkan. Namun direksi disana tidak mengindahkan. Dan, ternyata yang mengantri membludak dan menyebabkan kericuhan.
Lalu, pihak BlackBerry (d/h RIM) Canada yang menolak materi promosi berbahasa Indonesia. Dengan dalih copyright, pihak BlackBerry menolak mengubah materi promosinya ke dalam bahasa Indonesia, ungkap Cobham.
Seperti menjilat ludah sendiri, puluhan tahun kemudian BlackBerry muncul di Indonesia dengan 'Bahasa Indonesia'. Walau sekadar kode HP Blackberry Z3, tapi melabeli dengan nama BlackBerry Jakarta belum bisa menarik hati orang Indonesia. BlackBerry sudah sangat telat dan lambat melabeli BB Z3 dengan Jakarta, saat orang Indonesia sudah terkagum dengan Apple atau Samsung.
Kemudian, keengganan membuka server data BlackBerry untuk pemerintah Indonesia, juga mendorong kematian BlackBerry.