[caption id="" align="aligncenter" width="515" caption="(foto: ibtimes.co.uk)"][/caption] Berita hilangnya kontak dari maskapai Air Asia QZ8501 menghentak Indonesia di penghujung tahun ini. Kebingungan dan banyak pertanyaan pun mengemuka. Mulai dari kenapa terjadi hilang kontak. Sampai di mana kira-kira posisi jatuh QZ8501 berada. Kesedihan dan untaian doa pun terucap. Baik secara ikhlas dihaturkan dari hati. Sampai mereka yang sekadar ikut TTWW (Trending Topic World Wide) di medsos. Salah? Tidak ada yang salah selama tweet tersebut benar-benar berisi PrayForAirAsia. Media mainstream pun meliput semua sisi dari kecelakaan Qz8501. Mulai dari Basarnas yang berhati-hati memberi keterangan sampai keluarga korban yang masih terisak tangisnya. Semua bengis diburu demi berita dengan hashtag 'suci', #BreakingNews. Keterbukaan dan cepatnya berita disebar dengan teknologi dan internet di Indonesia, kadang dimaknai salah kaprah. Berita duka dan kebingungan serupa yang menimpa Air Asia QZ8501 ini pun disertai 3 entitas 'aib'. Bukan aib secara intelijen jika nantinya ada kemungkinan pembajakan oleh orang Indonesia atau apalah nantinya. Atau buruknya sistem Air Traffic Control di Indonesia. Ataupun aib menyoal sumber daya manusia yang bertindak sebagai flight crew di Air Asia QZ8501. Bukan itu, namun aib yang dibuat oleh media dan publik. Aib yang membuat kita mengelus dada. Kenapa di tengah kekalutan bencana, masih ada kelompok atau orang yang 'memanfaatkan' berita ini sebagai komoditas ego. 1. Selling Emotion for Viewers' Rating Ya, terutama media mainstream yang memiliki SDA dan teknologi komunikasi yang memadai. Mereka mencari dan mengorek-ngorek sebisanya kepada keluarga korban. Seolah-olah duka keluarga korban terkait langsung hilangnya Air Asia QZ8501 ini. Atau mewawancara keluarga korban yang menunggu manifesto maskapai Air Asia QZ8501. Mereka yang sedang bingung, kalut, menangis dan menanti kejelasan adalah objek berita 'aktual'. Konyol! Inilah aib yang seaib-aibnya yang menyertai berita duka Air Asia QZ8501 ini. Media mainstream, seolah tidak mau kalah rating dari kantor media yang lain. Menjaga privasi dan menjaga perasaan adalah nomor kesekian buat para reporter. Coba saja tengok artikel opini dari Kompasianer Rumisn Supian dengan judul Jurnalisme Duka, Jurnalisme Kemanusiaan. Contohlah koordinasi keluarga korban MH370 dulu ketika mereka menjadi sorotan media lokal dan internasional. Mereka sebisa mungkin mengontrol emosi dan mengawasi dengan baik pencarian. Mereka tidak mencoba membatasi diri. Namun juga media asing sepertinya paham atas kondisi mereka. Para keluarga korban pun akhirnya membuat 10 tips agar keluarga korban menjaga jarak dengan media. Dan agar media tahu kalau ada privasi yang khawatir akan dilanggar. Salah satu tipsnya seperti ini.
2. The media attention will be overwhelming at first. You don't have to accept interviews if you don't want to initially, but you must take the reporters' name cards, as you can use them later! (berita: straitstime.com)
2. Misleading Everlasting Hate Ini pula yang menjadi aib yang menyertai berita duka hilangnya Air Asia QZ8501 ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan pihak dan oknum yang kebenciannya ada hasil Pilpres membutakan hati dan logikanya. Seolah semua musibah yang terjadi adalah gegara sang Presiden yang dulu buka gacoannya. Kebencian mereka pun membiaskan dengan nyata aib. Terutama dari golongan atau oknum yang berkutat dengan medsos. Lalu pengikut mereka adalah hardliner (garis keras) pendukung Capres yang gagal di Pilpres. Apa pun beritanya, biasanya akan dipelintir dan diutak-atik dengan kebencian yang dipuja menjadi nalar, untuk menyalahkan Presiden terpilih. Seperti cuitan akun Twitter @MANISPOLOS yang menyatakan musibah Air Asia QZ8501 ini adalah tumbal kecurangan Jokowi. Entah apakah hati dan logika akun tersebut berpikir waras atau tidak. Aib ini tentunya akan mudah dipercaya dan diserap semena-mena pengikutnya. Apalagi jika sudah di-share atau retweet ribuan akun berbeda. Seolah menyulut sekam yang sudah direndam bensin. Orang dengan kebencian yang sama, akan mungkin mengangguk-angguk saja. Tentunya, orang yang bernalar sehat akan dituduh menghamba nabi Jokowi, atau sebutan apa pun yang mereka buat. Coba lihat artikel Kompasianer pak Gunawan, Astagfirullah... Hilangnya Air Asia Dituduh "Tumbal" Kecurangan Jokowi. 3. Hoax News For Self Pleasure Berita hoax atau palsu pun menjadi media yang membawa aib tentang kehilangan Air Asia QZ8501 ini. Biasanya dilakukan dan disampaikan dengan pesan Broadcast (BC) BBM. Baik memang mengirimkan BC ini terutama jika benar adanya. Namun jika dalam kondisi kalut keluarga korban dan berita keberadaan pesawat yang belum jelas. Pesan BC dari BBM yang 'nampak' nyata ini biasanya menjadi komoditas mereka yang mungkin merasa 'ejakulasi' jika pesan BC-nya disebar banyak orang. Walaupun itu berita bohong. Seolah nyata dan sesuai kejadian yang seolah terjadi. Penyebar pesan BC dari BBM hoax tentunya mendapat 'aktualisasi' diri walau sangat salah kaprah.
Di kalangan keluarga penumpang, beredar pesan Blackberry Massenger (BBM) yang menyebutkan pesawat mendarat di perairan Belitung Timur dan semua penumpang pesawat dalam kondisi selamat.
Berikut isi pesan berantai tersebut, Perairan Belitung Timur. Puji Tuhan Semua Selamat. Good Job Mr Pilot Iriyanto. Pengirim pesan juga menjelaskan bahwa pesan itu dari pihak trevel yang mendapatkan langsung dari salah satu penumpang pesawat. (berita: kompas.com)
Marilah bersama secara sadar dan dewasa menyikapi musibah hilangnya Air Asia QZ8501 dengan bijak. Percaya pada berita dari pihak terkait seperti Basarnas, KNKT, atau pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pencarian. Media mainstream teruslah kabari tentang kejelasan keberadaan badan pesawat. Biarlah keluarga korban mengurai sedih dan kebingungannya dengan pihak terkait. Media tidak perlu mengeksploitasi air mata dan kesedihan mereka. Publik tahu mereka sedih dan mendoakan agar mereka diberi ketabahan. Usah lagi mencari titik air mata demi rating ala #BreakingNews. Dan pihak-pihak pendendam Pilpres 2014 pun, mari tanggapi ini dengan rasional dan tulus menghaturkan bela sungkawa. Janganlah lagi mengotori pikiran banyak orang dengan menyulut lagi dendam yang sulit hilang dari Pilpres lalu. Menyebarkan cuitan, opini di medsos memang semudah kalian membalikkan hati alim kalian menjadi dendam kesumat. Maka bijaklah. Dan penyebar berita hoax ala medsos dan seolah nyata, tahanlah diri kalian. Buat apa aktualisasi palsu jika banyak orang malah menjadi bingung dan makin kalut. Salurkanlah orgasme aktulasasi diri kalian menjadi hal yang lebih berguna. Jadilah penulis novel fiksi atau cerpen. Tentunya khayalan kalian akan lebih berwarna dibingkai dunia literasi. Salam, Jakarta Selatan, 28 Desember 2014 10:03 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H