Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Saat Jilbaber Mengumbar Kemesraan, Apa Kata Dunia?

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: art2arts.co.uk)

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="(ilustrasi: art2arts.co.uk)"][/caption] Sebelum beranjak pulang ke rumah dari kampus sore itu, istri menghubungi via BBM. Putri kecil saya minta dibelikan Takoyaki di dekat kampus. Kebetulan satu arah dengan arah saya pulang. Segera saya bergegas ke penjual Takoyaki. Pesanan saya langsung dibuat setelah saya membaca menu varian yang diberikan. Duduk dan menunggu pesanan jadi, kebiasaan saya pun muncul. Yaitu kebiasaan mengobservasi orang-orang disekitar. Entah siapapun mereka dan sedang apa, saya coba imajinasikan siapa dan sedang apa mereka. Dan 'observasi' saya tertuju pada pasangan muda-mudi yang baru saja tiba. Sang pemuda, berjenggot, celana cingkrang (ngatung), berkacamata dan berpandangan sejuk tiba dengan motor cowok. Seorang pemuda yang tipikal seorang yang sering mengikuti pengajian atau liqo. Pemuda kader dakwah kampus yang serupa mahasiswa saya. Cinta Tuhan-nya sang Pencipta Semesta dan sayang ilmunya dengan caranya men-tadabburi alam. Beberapa detik kemudian, si pemudi tiba dengan motor bebeknya. Jilbab menjuntai tanda menguikuti amanat Syar'i dan kesolikhakan pun merebak. Di jaketnya tertera simbol almamater universitas negri di kota Solo. Dengan berjalan tenang dan tahu kemana ia tuju si pemudi mengikuti kemana si pemuda duduk. Dua pasang orang muda, tepatnya akhi-ukhti ini pun duduk berdampingan di sebuah meja di warung Takoyaki ini. Pesanan saya sudah selesai dibuat. Si penjual Takoyaki memberi tahu saya pesanan saya sudah jadi. Saya berdiri dan menuju si penjual. Lalu mencoba meneruskan 'observasi' saya ke muda-mudi barusan. Karena mereka duduk di belakang saya duduk. Maka setelah mereka duduk bersama, saya tidak lagi mengamati mereka. Hanya setelah saya membayar pesanan Takoyaki saya, saya bisa melihat mereka kembali. Duduk berdua dan hampir berdempetan muda-mudi (ukhti-akhi) ini bertukar celoteh. Dan yang membuat observasi saya semakin 'menegangkan' adalah si pemudi menempelkan hidungnya ke bahu si pemuda. Mesranya senyum terhias di wajah pemudi. Sedang pemuda seolah merasa nyaman dengan gesture manja si pemudi. Waw, inikah 'gaya pacaran' ukhti-akhi masa kini? Angan liar saya pun mencapai sensasi kebaruan gaya berpacaran ini. Jangan-Jangan Mereka Sudah Menikah? Observasi saya yang 'belum lengka' fenomena diatas pun masih menggantung di fikiran saya. Dan yang paling relevan dengan jawaban yang mungkin adalah 'Jangan-jangan mereka sudah menikah?' Walau probabilitas ini cenderung vague atau kabur. Setidaknya inilah yang bisa 'memvalidasi' perilaku mesra muda-mudi Islami yang baru saja saya lihat. Karena juga saya tidak ingin dicap 'suu'zon' dengan observasi dan kesimpulan yang tidak diharapkan. Saya coba 'mengeruk' kembali fenomena yang mungkin bisa terkait fenomena ini. Dan saya mendapatkan satu cerita dari teman di salah satu universitas negri terkemuka di Semarang dahulu. Teman saya dulu yang kuliah di universitas negri di Semarang ini bercerita soal fenomena nikah sirri di kalangan aktifis 'kerohanian' Islam. Ia bercerita, para aktivis (ukhti-akhi) yang juga tergabung dalam liqo-liqo di sekitaran kampus dapat menikah dengan mudah. Mudah disini tidak perlu mahar yang mahal. Tidak perlu disaksikan saksi dari keluarga. Bahkan tidak perlu kehadiran orangtua. Cukup para instruktur (murobbi) sebagai juru nikah. Tentunya, tidak perlu menggunakan dokumen hitam-putih guna memvalidasi nikahnya mereka. Jika mereka saling mau dan mampu menikah, maka dinikahkan. Panjang lebar teman saya bercerita, intinya adalah pernikahan sirri ini mencegah mereka berbuat zina, dan tentu sesuai dengan tuntunan. Yang sepertinya mereka tafsir sendiri.

Fenomena nikah siri, yang saat ini banyak melibatkan mahasiswa sebagai pelaku,tentu membawa dampak. Mengenai latar belakang atau alasan terlaksananya nikah siri di kalangan mahasiswa yang telah dijabarkan sebelumnya, memberikan gambaran yang jelas bahwa konsep nikah secara siri bukan hanya menjadi budaya bagi sebagian kelompok agama atau alim ulama, namun sudah merambah di kalangan akademisi khususnya bagi mahasiswa. (Helnawaty, 2005)

Kok Mesranya Diumbar? Walau pembenaran (atau kebenaran) dari nikah sirri ini relatif menurut penjabaran agama-humaniora. Yang coba saya observasi pada fenomena saya di atas adalah 'diumbarnya' kemesraan yang menyulut syak wasangka. Walau ini pun kasuistik pada masing-masing  orang (dalam hal ini mahasiswa), tapi tempat publik bukanlah tempat menunjukkan kemesraan. Apalagi jika sudah saling bersentuhan fisik atau malah lebih. Hal ini dilakukan oleh muda-mudi yang tidak membawa 'simbol' agama saja sudah di-bully secara prasangka. Apalagi pasangan muda-mudi (ukhti-akhi) yang saya amati. Walau hanya sekilas dan saya beranjak pulang, juga tidak mungkin bertanya apakah mereka sudah menikah atau belum. Mengumbar kemesraan di tempat publik oleh mereka seharusnya sudah bukan hal yang patut saya tegur. Cerita teman, dan literatur yang membahas fenomena nikah sirri mahasiswa seolah menguatkan 'jawaban' dari pengamatan saya. Namun tentunya tidak mengaburkan fenomena 'mengumbar' kemesraan yang terlalu naif dilakukan muda-mudi yang membawa simbol agama. Bagi orang awam pun, saya fikir akan mengundang banyak tanya. Kenapa mereka harus datang dengan motor berbeda? Kalau suami istri bisa dong cuma pakai satu motor? Kalau mereka Islami, apa pantas mesra-mesraan di warung? Bukannya mereka sadar akan tanggapan orang jika melihat mereka? Dan mungkin yang kebetulan melihatnya adalah saya. Sekali lagi, kasus pengamatan saya pada muda-mudi yang 'mencengangkan' buat saya tidak bisa menjadi pukul rata dari semua muda-mudi serupa. Terutama yang memang sudah menikah dan syah menurut agama dan negara. Buat pasangan resmi muda-mudi bersimbol Islam pun ada baiknya mengingat pesan nabi jungjungan tertinggi dalam Islam.

"Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu." (Shahîh: HR.Ibnu Mâjah: 4181)

Referensi:

  • Helnawaty, 2005. Fenomena Pernikahan Bawah Tangan Mahasiswa pada Kalangan Mahasiswa Perempuan. UGD. Unduh file disini
  • Pustakaimamsyafii.com. Malu Ahlak Islam. Link disini

Salam, Solo, 1 Februari 2015 11:22 pm




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline