[caption id="attachment_395547" align="aligncenter" width="560" caption="(ilustrasi: eyalt23.deviantart.com)"][/caption]
Sudah saat mengubah stigma musik rock atau metal itu musik cadas. Musik yang dijuluki cadas mungkin kini bisa disematkan di musik dangdut. Cadas, atau dalam konteks musik berarti keras dan hingar-bingar kini serasa bergeser ke musik dangdut. Musik rock atau metal bukan lagi musik cadas hingar-bingar secara maknawi. Walau gebukan drum serupa AK-47 atau riff gitar yang cepat dan rumit, musik metal cadas pada sisi wujudiah. Secara maknawi, musik rock atau metal tidak lagi cadas. Kini dangdut yang secara wujudi terkesan halus dan gembira, kini secara maknawi sudah lebih cadas musik rock atau metal. Saya kebetulan sering hadir dan menikmati konser-konser rock atau metal. Beberapa konser ini memiliki kultur yang sama, walau dengan warna yang berbeda.
Kultur yang sama adalah tolerant. Rundown yang biasanya one-day festival atau dimulai dari setelah sore, memiliki hal yang sama yaitu jeda saat waktu sholat. Baik sholat Ashar, Magrib atau Isya, di rundown acara biasanya akan memiliki jeda sekitaran 30 menit. Dan, semua konser yang saya kunjungi berakhir sebelum pukul 23:00. Ada pula yang berakhir pukul 22:00. Semua konser rock atau metal mematuhi peraturan pihak berwajib agar bubar sebelum tengah malam. [caption id="" align="aligncenter" width="520" caption="(foto: hai-online.com)"]
[/caption]
Kultur yang sama juga, adalah respect atau menghormati dalam konser rock atau metal. Toleransi pada mereka yang hendak menunaikan sholat, atau melepas lelah bagi yang tidak sholat. Kultur respect pun dipraktekkan saat mosh-pit mulai bergolak. Biasanya, banyak yang saling berkontak fisik, berdesakan dan meliar. Namun, setelah lagu yang dibawakan usai, maka mosh pit pun bubar. Tidak ada yang tersinggung telah bertumburan dengan orang tidak dikenal saat ber-moshing. Tidak ada pula dendam saar berkontak fisik saat ber-moshing. Semua kembali menikmati musik atau pilih beristirahat.
Hampir di setiap konser yang saya datangi, tidak ada keributan atau adu jotos karena saling senggol. Lalu dangdut sudah menjadi aliran musik yang lebih cadas dari musik rock atau metal. Berikut beberapa pengamatan dan observasi saya. Karena dangdut is the music of my country, tentu banyak yang anggap dangdut adalah musik maintream. Alias musik yang menjadi komoditas hiburan dan pleasure. Dan sifatnya inilah, yang kadang disalahgunakan oleh beberapa promotor. Lihat saja di televisi kita saat konser dangdut live. Tidak ada toleransi waktu sholat. Konser pencarian bakat di salah satu TV swasta dimulai pukul 18:00. Bagaimana para peserta dapat sholat? Bagaimana dengan para penontonnya juga dapat sholat? Peserta perempuan muslim tentunya harus berdandan 3-4 jam sebelum konser. Lalu, saat adzan Magrib berkumandang, penonton malah diminta bersorak-sorai menyambut para host yang, saya tahu, juga Muslim.
[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="( screenshot: article.wn.com)"]
[/caption]
Ada pula konser dangdut yang outdoor atau di tempat terbuka. Tak jarang kontak fisik atau hanya bersenggolan antar penonton bisa menyulut keributan masal. Konser pun dihentikan sampai pihak-pihak berselisih diamankan. Mereka joget dan dalam berjoget mereka sebebasnya dan semaunya. Saat disenggol lagi, kadang dengan keadaan mabuk, mereka berselisih. Yang masalah bukan antar individu. Kadang teman-teman si oknum yang bersenggolan yang kadang membuat konser dangdut tidak nyaman, bahkan membahayakan. Perilaku penonton yang kurang bisa saling menghormati penonton lain yang juga ingin bersenang-senang. Dangdut sudah menjadi komoditas hiburan yang over-exposed.
Menjadi genre musik yang kini cenderung mengumbar lirik nakal dan goyang yang cenderung erotis. Mengumbar pula penyanyi baru dengan one-hit wonder saja. Dengan satu lagu si penyanyi bisa terkenal. Dan dengan satu lagu itu pula ia terlupakan. Penempatan waktu dan durasi tayang yang terlalu lama dan membosankan, seperti pada konser pencarian bakat dangdut di TV. Yang kita tonton, 30% menyanyi dan 70% membanyol dan mendengar kritik juri. Nilai seni dan estetika mulai luntur pada dangdut. Saya, juga penikmat dangdut terutama klasik. Artis dan karya dangdut yang everlasting seperti dari Rhoma Irama, Mansyur S., Evi Tamala, dll tetap saya kagumi.
Sedang musik rock atau metal sekarang sedang mengisi kekosongan genre musik mainstream. Musik rock atau metal mulai menjadi primadona ABG. Banyak dari mereka mulai menyukai musik rock atau metal. Mulai dari t-shirt sampai tas punggung berkesan rock atau metal mereka gunakan. Banyak juga yang cuma ikut-ikutan agar terlihat sangar dan cadas. Walau gaya hidup dan cara berfikir mereka masih mainstream, alias cuma mengekor. Namun, rock atau metal tetap memiliki sifat tribalism-nya sendiri. Kultur DIY (Do It Yourself), respect and tolerance, dan support local movement terus ada dalam hati. Sadar atau tidak sadar, penyuka musik rock atau metal sejati akan 'mengamalkan' sifat tribalism ini dalam hidup. Terlepas dari stigma negatif yang sengaja dibuat TV. Jadi, mana yang lebih cadas secara maknawi sekarang? Musik rock atau metal? Atau musik dangdut?
Salam,
Solo, 08 Februari 2015