Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Polemik Ujian Nasional, Tuntas Tanpa Kertas

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi: thestudentinitiative.org)

[caption id="" align="aligncenter" width="426" caption="(ilustrasi: thestudentinitiative.org)"][/caption] Ada beberapa hal yang patut ditelaah atas kebijakan uji coba Ujian Nasional (UN) Online oleh Mendikbud, Anies Baswedan. Secara eksplisit, UN Online adala jalan menghemat pengeluaran pada pembuatan, distribusi dan operasional UN konvesional. Secara eksplisit, sepertinya Mendikbud hendak membongkar jalin sengkarut 'mafia' UN. Mafia UN sendiri mulai dari yang bermain besar, sampai yang kecil. Dan seolah mendayung sampan dua tiga pulau terlampaui, Mendikbud memberikan gebrakan berarti untuk UN. Dengan 500 sekolah siap melaksanakan uji coba UN Online seolah menjadi ancang-ancang memberangus mafia UN sekaligus mencari konsep baru dalam UN. Anies Baswedan pun dalam melakukan manuver ini tidak memaksakan kebijakan, kehendak dan kepentingan. Tidak seperti Mendikbud sebelum-sebelumnya. Anies Baswedan pun sempat mengkritik polemikk UN sendiri yang sepertinya tidak ditanggapi Mendikbud waktu itu. Seolah ingin membuktikan perkataannya 2 tahun lalu, Anies tidak ingin memaksakan UN Online ini ke seluruh sekolah. (Baca artikel saya Ujian Nasional Jangan Dipaksakan)

"Tahun ini baru uji coba, mungkin baru sekitar 500 sekolah yang siap melaksanakannya, terutama SMK," ujar Anies di Istana Negara, Rabu, 25 Februari 2015.

Anies mengatakan jumlah sekolah di Indonesia mencapai 58 ribu sekolah dan hanya 500 sekolah yang siap melaksanakan UN Online. Meskipun begitu, Anies optimistis tahun-tahun berikutnya jumlah tersebut akan bertambah. (berita: tempo.co)

Dimulai Dari Mafia Kertas Kebijakan uji coba UN sendiri adalah bentuk lain dari paperless era di abada 21. Dimana sudah jauh didengungkan wacana paperless world dengan bentuk storage elektronik, UN Online sepertinya hendak meniru model ini. Beberapa tes internasional pun sudah menggunakan model paperless test. Bahkan, online course pun sejauh yang saya tahu, korespondensi akademik pun menggunakan media e-mail dan website. Ditambah, semakin melimpahnya cloud storage dan canggihnya clous computing. Menyimpan data berupa jawaban ujian satu negara, seperti Indonesia, tentunya bukan sesuatu yang sulit. Yang diperlukan tentunya kesesriusan, infrasstuktur dan maintenance yang komprehensif dari sistem UN Online nantinya. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(ilustrasi: artinliverpool.com)"]

(ilustrasi: artinliverpool.com)

[/caption] Semasa pemerintahan SBY, Kemendikbud sudah menjadi anak emas. Dengan lebih dari 20% APBN negara diperuntukkan untuk pendidikan, UN adalah ladang bancakan mafia. Mulai dari hulu sampai hilir, UN yang tahun 2013 lalu menjadi polemik ujung-ujungnya tetap berkutat pada meraup dan menghamburkan uang. Oknum-oknum yang bergerak dengan logistik UN tentunya seperti berada di surga. Dimana limpahan dana berlimpah. Walau pada akhirnya banyak sekali borok yang terlihat. Mulai dari keterlambatan distribusi soal sampai kualitas kertas yang buruk, mafia kertas sudah merajalela dengan rakusnya. (Baca artikel saya: 80% Hasil Konvensi UN Hanya Soal Duit) Mafia kertas yang saya maksud diatas adalah ada posisi hulu, alias penuh dengan pola korupsi uang yang sistemik. Sedang mafia kertas berikutnya berada di hilir. Para mafia ini bisa beragam oknumnya. Mulai dari orang-orang diluar kedinasan Kemendikbud, bahkan sampai pihak-pihak intern sekolah itu sendiri. Ya, mafia-mafia yang memberikan bocoran soal. Entah berapapun varian soal, pasti selalu ada saja yang membocorkannnya. Entah benar atau tidak, kondisi mental dan psikologi tertekan para siswa tentunya lebih mengambil resiko mencari bocoran jawaban yang beredar. Walau kemungkinan benarnya, belum pasti. Belum lagi pihak sekolah yang mulai dari kepala Dinas sampai guru pengawas memberikan ruang siswa untuk mencontek. Mafia-mafia kroco ini berlindung dibalik kepentingan nama baik sekolah. Jika ada sekolah dengan jumlah kelulusan tidak 100%, mau ditaruh dimana muka pemegang kebijakan sekolah. Bisa pula sekolah dengan siswa UN yang tidak lulus, dicap sekolah jelek lalu gulung tikar. Dan stigma ini menjadi momok demikian mengerikan. Bahkan seorang Kepsek di Kabupaten Karanganyar tertangkap membocorkan kunci jawaban di tahun 2014 lalu. (Baca artikel saya: Dilema UN, Kepsek Pun Membocorkan Kunci Jawaban UN) Kertas Lenyap Dan Operasi Sunyi Senyap Efektifitas jangkauan dan efisiensi anggaran UN Online mungkin untuk saat ini belum begitu nampak. Namun patut ditelaah efektifitas dari UN Online itu sendiri. Ketika kemajuan jaman menuntut manusia mennghemat kertas dan menjadikan segala sesuatu real-time, UN Online menganut sifat ini nantinya. Hemat kertas dalam hal ini, jalur produksi dan distribusi benar-benar dipangkas. Usaha melahap mafia, seperti yang saya tulis diatas, sudah dimulai dengan uji coba UN Online ini. Semua kebutuhan akan dipersiapkan dari pusat. Dengan distribusi real-time atau dapat diakses sewaktu-waktu, UN Online sudah bisa dilaksanakan. [caption id="" align="aligncenter" width="466" caption="(ilustrasi: culturedigitally.org)"]

(ilustrasi: culturedigitally.org)

[/caption] Bank soal UN di pusat sebagai sumber saya yakin sudah berlimpah. Dengan diolah dan diunggah ke sistem, soal-soal tidak hanya 20 varian nantinya. Dengan algoritma yang apik, tidak sulit menvariasi semua soal yang pernah dan akan dibuat menjadi satu database soal pusat. Kemudian didistribusikan dengan server, infrastruktur, dan koneksi yang baik ke lokasi UN Online. Tanpa perlu pengawas, ratusan orang dalam satu ruang akan memiliki soal yang berbeda. Sehingga, biaya operasional untuk pengawasan juga bisa dipangkas. Anggarannya pun bisa dialihkan untuk aspek pendidikan yang lebih membutuhkan. Namun, operasi sunyi senyap pun harus diwaspadai pihak Kemendikbud. Dengan semakin lihai dan canggihnya para hacker, baik lokal maupun internasional, perlu benteng kuat melindungi aset UN. Jangan sampai hacker kacangan yang sukanya nongkrong di warnet sampai mampu menyusup ke database soal UN. Lalu mengunduh dan menyebarluaskan kunci jawaban. Atau, mulai detik uji coba UN Online dimulai mungkin saja ada pihak-pihak keruh hati memulai operasi senyap membongkar database soal UN. Bisa saja ada pihak-pihak mafia kertas yang berani bayar besar agar UN Online ini berjalan kacau. Seolah membalas benci karena lahannya selama ini tiba-tiba diberangus oleh Mendikbud baru. Jangan Hanya Ganti Media, Tapi Nuansa Walau lama menjadi beban dan momok untuk siswa menghadapi UN, ada suatu keharusan merubah nuansa UN. Jangan hanya sekadar berganti media, UN Online fungsi dan bentuknya tetap sama. Fungsi yang harus diubah adalah UN bukan lagi penentu kelulusan. Walau wacana ini sempat terlontar, namun Kemendikbud sepertinya belum begitu terfokus. Atau, dengan prasangka baik sedang digodok bagaimana caranya UN bukan lagi penentu kelulusan. Biarlah guru dan pihak-pihak terkait yang setiap hari berinteraksi memberi kelayakan agar satu siswa bisa lulus atau tidak. Parameter yang lebih majemuk dan mendetail agar kelayakan lulus atau tidak memang semua ada ditangan guru. Jadikan UN sekadar tanda kelayakan untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi (PT). Tanpa embel-embel lulus atau tidak lulus. Lulus tetaplah lulus untuk siswa, namun esensi untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi tentunya yang UN harus fokuskan. Jika siswa tidak mau melanjutkan silahkan. Namun, siswa tetap lulus SMA dengan mengantongi nilai UN dan penilaian guru dan sekolah yang lengkap. Jika melanjutkan ke PT Negri /PT Swasta adalah keharusan untuk satu siswa, maka UN harus lulus. Jika ditambah ujian mandiri untuk dari PTN, itu menyesuaikan menjadi nilai profisiensi awal saja. Semua agar siswa yang kuliah tidak tertinggal atau telat memahami dan memaknai perkuliahan. Ditambah, tambahi UN dengan soal essai atau bahkan mengarang. Jangan hanya melulu siswa disajikan pilihan-pilihan A,B, C, atau D. Tidak ada signifikansi ranah kognitif yang terbentuk saat siswa memilih jawaban. Karena jawaban sudah tersedia dan siswa tinggal memilih mana yang paling benar. Aspek ingatan yang akhirnya menonjol. Dengan memarjinalkan aspek problem-solving dan inferensi pada kemampuan kognisi. Inipun nantinya akan merubah nuansa UN. Jangan hanya berubah media, nuansanya tetap sama. Artikel terkait: Kurikulum 2013 Selesai, Bagaimana Dengan UN? Salam, Bandung, 26 Februari 2015 05:25 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline