Siapakah aku? Bagaimana aku? Apakah 10 menit yang lalu itu adalah aku? Apakah statusku di Twitter itu aku? Apakah aku seindah feed Instagram aku? Kenapa aku upload ini? Apakah followers aku menerima kepribadian aku?
Topik pilihan yang menarik sekaligus membingungkan karena ini membahas kepribadian di media sosial. Saya saja sebenarnya masih bingung sama kepribadian sendiri di dunia nyata, ini kemudian mengaitkannya dengan di media sosial.
Apakah "be yourself" benar-benar itu adalah diri sendiri? Soalnya, saya meyakini setiap orang dipengaruhi dan memengaruhi dalam interaksi sosial. Manusia belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan tindakan. Kepribadian menyesuaikan dengan lingkungan, bukan lingkungan menyesuaikan kepribadian.
Bagi saya, tidak ada orang yang menjadi dirinya sendiri di media sosial. Mengapa?
1. Kepribadian menyesuaikan platform dan akun
Saya di LinkedIn pastinya berbeda dengan saya di Twitter atau WhatsApp atau Line. LinkedIn adalah aplikasi yang intinya membantu kita berkoneksi dengan profesional dan mencari pekerjaan.
Intinya di LinkedIn, kita (harus) membangun kepribadian menjadi manusia yang berkualitas, berkompeten, dan profesional.
Oleh karena itu, kepribadian yang diterapkan di LinkedIn pastinya se-sopan, se-profesional, dan se-pencitraan mungkin.
Sebenarnya saya tidak suka menunjukkan hasil karya atau disebutnya sebagai portfolio di LinkedIn, tapi karena LinkedIn "cara mainnya" seperti itu jadi ya saya lakukan. Ditambah saya juga tidak suka branding di LinkedIn, tapi gunanya LinkedIn adalah self-branding apalagi untuk dapat pekerjaan.
Jadi, ngga mungkin kepribadian di Twitter atau WhatsApp atau Line saya yang isinya meme, membahas hal-hal aneh, bawel, dan bahasanya "begitu" saya bawa ke LinkedIn. Auto blacklist sama HRD dan User.
Selanjutnya adalah Instagram, di mana memanjakan visual adalah kuncinya di aplikasi ini. Kepribadian yang dibangun harus menunjukkan keindahan, mulai dari pengambilan foto, penyusunan feed, dan efek snapgram.
Pada 2019, saya pernah memutuskan untuk menghapus permanen akun Instagram. Alasannya ada dua:
1. Boros kuota, karena ketika saya buka Instagram, ada kecenderungan untuk membuka snapgram satu-satu dan scroll lebih lama
2. Ada perasaan iri atau bahasa anak sekarang adalah insecure. Saya mengalaminya ketika melihat keindahan yang disajikan oleh followers lewat snapgram maupun postingan di feed. Dalam hati dan pikiran, saya mengatakan "kapan ya bisa begitu", "wah enak banget", "pengin deh jalan-jalan kayak gitu", atau "kapan ya punya itu juga?"