Lihat ke Halaman Asli

Harga BBM Naik dan Masyarakat yang Muak

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Mas kenapa BBM harus naik ya?” tanya supir taksi.

Gue menggunakan taksi untuk menuju Kuningan dari Serpong. Jarak yang lumayan jauh ditambah macet sehingga seringkali ngobrol dengan supir menjadi keasyikan tersendiri. Ada beberapa pertanyaan ‘biasa’ seperti asal sekolah atau daerah sebelum pertanyaan  ’tidak biasa’ tentang BBM ini muncul.

Berpikir sebentar kemudian Gue berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Penjelasan dimulai dari harga BBM yang dibeli oleh masyarakat ini lebih rendah daripada banyak negara lain. Sejujurnya Gue tidak terlalu mengetahui berapa harga seharusnya atau adakah harga standar untuk premium dan lainnya. Untuk menjaga harga terutama keperluan pokok masyarakat agar tidak terlalu tinggi, pemeritntah memerlukan uang puluhan triliun rupiah untuk mensubsidi harga minyak di seluruh indonesia.

“Yah diharapkan uang subsidi itu dapat digunakan, misalkan untuk pendidikan atau mungkin perbaikan jalan Mas.” Jawab Gue, sedikit berandai-andai dengan logika.

“Ohh gitu ya mas, yah kalau misalkan pendidikan makin bagus, saya nerima aja dinaikin. Asal ngga dikorupsi aja.”

Percakapan ini kira-kira 2 minggu sebelum banyak demo beredar untuk menolak kenaikan harga BBM. Gue jadi mengingatnya kembali karena kebingungan dengan reaksi anggota DPR atau mahasiswa. Ada yang bakar ban, mobil dan semoga tidak ada yang membakar diri kembali. Ada dua anggota DPR dari PDI-P yang turut ke jalan karena mereka merasa suara rakyat itu adalah menurunkan harga BBM. Ada juga yang marah dan berusaha ‘membunuh’ polisi dengan melempar batu karena isu bahwa rekan sesama mahasiswa tewas oleh polisi. Ada banyak spanduk yang berisi penolakan kenaikan harga BBM. Kalau dari Gue ada sebuah pertanyaan serius, “Tau dari mana suara rakyat itu BBM jangan dinaikin?”

Jika mengatakan suara rakyat Indonesia maka pikiran Gue menuju suara mayoritas rakyat Indonesia. Ada ilmu namanya statistik untuk mendapatkan gambaran suara mayoritas karena tidak mungkin bertanya ke ratusan juta rakyat Indonesia. Ada yang punya?  Kalaupun ada, apakah itu menggambarkan hal yang perlu? Jika mereka mengatakan rakyat kurang mampu tidak mau harga BBM naik maka hal ini sangat mengganggu pikiran Gue. Bob Sardino sampai Dian Sastro yang tidak akan bermasalah dengan kenaikan BBM juga pasti tidak akan suka dengan harga yang lebih tinggi. Sudah pasti masyarakat dengan daya beli yang lebih rendah juga menolak harga BBM untuk naik. Semua orang pasti tidak suka dengan kenaikan BBM namun semua orang bisa mengerti hal itu jika penjelasan dan realisasi dari penjelasan itu bagus.

Buat Gue, permasalahan utama bukan harga yang akan naik apalagi setelah mendengar tanggapan dari supir taksi. Jika harga minyak dunia terus naik atau anggaran pemerintah dalam zona defisit tentunya menaikan harga BBM adalah suatu tindakan yang logis. Masalahnya bisa jadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga legislatif. Gue berimajinasi jika jalanan diperbaiki, bangunan sekolah menjadi layak juga fasilitas umum makin memadai maka supir taksi atau nelayan juga akan menerima kenaikan harga BBM.  Rakyat Indonesia sepertinya sudah terlalu capek dan muak dengan berita negatif dari pemerintah. Apalagi tentang korupsi misalkan oleh Nazarrudin.

Jika uang kurang maka tinggal bekerja lebih keras. Jika sekolah rubuh, jalanan rusak atau banjir terus-menerus maka tinggal apa?

Kepada anggota legislatif, Tolong pastikan Evaluasi analisis pemerintah tentang kenaikan harga BBM berjalan baik bukan sekedar menolak saja dan tidak perlulah turun ke jalan. Ayolah teman-teman mahasiswa, mengapa harus ngelemparin batu atau bakar-bakaran?. Sebagai kaum calon pengubah bangsa, memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang dinamika harga BBM akan jauh lebih berguna daripada ngelemparin batu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline