Membaca tulisan dari penulis sekaligus pemerhati media Bapak, Syaiful Harahap mengenai pembahasan tentang "Judul Berita HIV/AIDS dengan Identitas Mahasiswa Bandung Ini Bikin Stigma" yang dikutip dari laman Detikjabar.com dengan headline "Ratusan Mahasiswa Ber-KTP Bandung Terinfeksi HIV AIDS"
Secara pribadi saya sependapat dengan tulisan beliau ini. Karna stigma negatif kepada Mahasiswa "Asal Kota Bandung" akan di diskreditkan masyarakat yang merasa ngeri pada perilaku tersebut. Hal ini menjadikan dampak yang menimbulkan kegaduhan dan kecemasan berlebih pada orang tua yang anaknya sedang menempuh pendidikan kota tersebut.
Sudah jelas bahwasanya dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang terdapat pada Bab IV Bagian Kedua Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi:
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi
Jelas saja dari peraturan tersebut telah diatur bagaimana caranya agar menghilangkan stigma serta diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS ini.
Meskipun yang ditampilkan adalah identitas umumnya saja, namun alangkah baiknya dalam penyampaian informasi yang merupakan ajang untuk promosi pencegahan HIV/AIDS tersebut tidak menyebutkan secara langsung penjelasan kedaerahannya.
Jika dilihat dari sumber tersebut, dikatakan pula bahwa rentan usia 20-29 tahun sebagai penderitanya. Sebetulnya sudah cukup dengan penyebutan rentan usia tersebut sebagai informasi kepada masyarakat, agar masyarakat dapat lebih memproteksi dan mengawasi usia muda seperti tersebut.
Dengan penyebutan identitas sebagai mahasiswa dan identitas kedaerahan ini, justru akan berimbas pada kalangan masyarakat dengan rentan usia yang sama dan disatu daerah yang sama pula. Tentu hal ini seharusnya dihindari karena akan berdampak buruk pada citra dan memberikan stigma yang melekat pada kalangan tersebut.
Media dalam hal ini DetikJabar.com tidak salah membuat headline berita seperti itu. Yang keliru adalah sumber informasi dari media tersebut (rd: Dinas terkait) yang memberikan data dan informasi tanpa disaring terlebih dahulu.