Lihat ke Halaman Asli

Sanksi Hukum bagi Dokter atas Kesalahan atau Kelalaian dalam Menjalankan Profesinya

Diperbarui: 23 Agustus 2024   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: depositphotos

Sanksi Hukum bagi Dokter atas Kelalaian atau Kesalahan dalam Menjalankan Profesinya

Profesi dokter adalah salah satu profesi yang sangat penting dalam masyarakat karena dokter memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Seorang dokter harus mematuhi kode etik yang ketat, termasuk menjaga kerahasiaan pasien, bertindak dengan integritas, dan memberikan perawatan yang adil dan tanpa diskriminasi. Kode etik ini dirancang untuk melindungi pasien dan memastikan bahwa dokter menjalankan tugasnya dengan cara yang profesional dan bertanggung jawab.

Lalu bagaimana apabila seorang dokter melakukan kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesinya? Dalam hal ini dokter dinilai telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan profesinya apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan standar profesi berupa standar pelayanan medik, standar operasional prosedur, kurang kemampuan, kurang pengetahuan, kurang pengalaman dan melanggar kode etik kedokteran. Dalam membuktikan adanya kesalahan/kealpaan dokter dalam melakukan profesi tidak cukup hanya dengan pembuktian secara yuridis, tetapi juga pembuktian secara medis didapat dari keputusan majelis dan tidak hanya dari mendengarkan saksi ahli yang dalam hal ini masih dimungkinkan adanya pendapat pribadi yang didapat dari pengalaman praktek dan disokong oleh faktor keberuntungan. Sanksi yang dikenakan terhadap para dokter yang telah terbukti melakukan kesalahan berupa kelalaian atau kesengajaan dalam melaksanakan profesi, yaitu berupa:

Dari segi hukum pidana, dokter hanya dapat dituntut dalam hal pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia. Tindakan yang dikenakan terhadap dokter yang melakukan kesalahan profesi yaitu sebagaimana telah diatur dalam KUHP:

  • Pasal 359, Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.
  • Pasal 360 ayat (1) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun, ayat (2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orangitu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (Sembilan) bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp 4.500, dan;
  • Pasal 361, Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.
    Hukumannya berupa hukuman penjara, kurungan, membayar denda dan apabila kelalaian dilakukan pada saat melakukan pekerjaan, maka hukumannya ditambah sepertiganya dan dipecat dari pekerjaannya.

Dari segi hukum perdata, sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan melanggar hukum, yang embawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam hal ini seorang dokter dapat dituntut untuk membayar ganti rugi dalam hal pasien menderita kerugian tergantung pada jumlah kerugian yang dialami.

  • Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat diberikan sanksi berupa pidana penjara dan denda sebegaimana diatur dalam:
  • Pasal 29, Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
  • Pasal 190, Ayat (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka"  atau Pasal 85 ayat (2) "Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu" dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  • Ayat (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Pasal 194, Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang dilarang melakukaan aborsi" dapat dikecualikan berdasarkan: 
  • indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
  • kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
  • Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • Mekanisme Pemberian Sanksi sesuai Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja (ORTALA) MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)
    Dalam ORTALA MKEK, pemberian sanksi terhadap dokter terhukum/pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan IDI, baik secara sementara atau pun permanen. Pada umumnya sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan keanggotaan yang bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur hidup. Mekanisme pemberian sanksi oleh MKEK diawali dari masuknya pengaduan yang sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang diadukan. Pada akhir penelaahan, Ketua MKEK menetapkan kelayakan kasus untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang kemahkamahan hingga tercapai keputusan MKEK. Bila terbukti terdapat bukti pelanggaran etik, maka majelis akan menetapkan sanksi sesuai dengan berat ringannya kesalahan dokter teradu. Pelaksanaan sangsi dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etika Profesi MKEK untuk dan atas nama pengurus IDI setingkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline