Fakta menyatakan bahwa tidak sedikit masyarakat memiliki pemahaman yang keliru tentang Perbankan Syariah. Label syariah men-drive pemikiran masyarakat bahwa seluruh produk yang dihasilkan oleh basis ekonomi ini diperuntukkan untuk kalangan Muslim. Tidak perlu jauh-jauh, saat saya pertama kali diperkenalkan dengan basis ekonomi syariah pun memiliki pemikiran bahwa ini untuk masyarakat beragama Islam, bukan untuk saya yang beragama Nasrani.
Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata masyarakat non muslim juga dapat berpartisipasi dalam pemakaian produk-produk perbankan yang ditawarkan oleh bank syariah. Bukan tanpa alasan mengingat dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah terbuka bagi semua kalangan yang bermaksud memanfaatkan pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ini tidak berkaitan dengan ritual keagamaan Islam. Pemahaman yang jelas pun akhirnya mengiring saya memperoleh insights terkait apa dan bagaimana perbankan syariah dalam menjalankan usahanya.
Ada beberapa pengalaman dengan pembiayaan berbasis syariah yang saya pahami dan saya alami secara langsung. Pertama adalah saat melakukan usulan pembiayaan untuk membeli rumah primer saya, yang biasa dikenal denga Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Ada pengalaman menarik disini yang akan dijelaskan kemudian. Selanjutnya, pemahaman terkait pembiayaan syariah yang sudah berkembang di berbagai negara maju terutama di negara yang concern pada pembangunan infrastruktur. Hal ini saya pahami saat sedang menjalani pendidikan pascasarjana di Inggris 2015-2016. Sangat menarik karena saya pun sampai meneliti trend pembiayaan berbasis syariah yang justru banyak berkembang di negara sekuler.
Pasca krisis ekonomi global 2008, banyak bank konvensional yang harus tiarap akibat subprime mortgage effects. Hal tersebut bermuara pada ketidakmampuancustomers dalam melakukan installments pembiayaan. Siapa yang menyangka, disitulah perbankan syariah mencuri pandangan dunia. Saat bank konvensional bankrut dan gulung tikar, bank syariah malah berkembang dan membuka cabang baru. Bank ini commitpada akad yang telah dibuat sebelumnya di awal. KEPASTIAN. Itulah kata yang tepat dalam mendeskripsikan perbankan syariah.
Berangkat dari pembuktian fenomenal itu, saya pun mempelajari, memproyeksikan dan membandingkan keunggulan dan kelemahan antara bank konvensional dan bank syariah dalam pembiayaan rumah yang akan saya beli pada 2010. Tentu saja, saya akan mengambil perbankan yang mampu menyediakan fasilitas keringanan yang baik. Iming-iming bunga tetap 3 tahun pada bank konvensional saat itu benar-benar menggiurkan bagi pencari rumah primer pertama kalinya seperti saya. Sangat disadari bahwa cicilan dari bank syariah jauh lebih besar dari konvensional untuk tiga tahun pertama.
Keputusan yang diambil pada saat itu adalah tetap pembiayaan bank syariah. Namun ternyata pengembang perumahan yang saya beli telah memiliki kontrak dengan beberapa bank konvensional bahwa jikacustomers membeli rumah dengan KPR maka mereka harus memilih sumber pembiyaan dari bank konvensional yang ada. Terlanjur cinta dengan perumahan yang saya hendak beli, maka saya pun terpaksa memilih pendanaan dari bank konvensional.
Berhenti sampai disitu? Tentu tidak!
Serunya, saya pun mengajukan proposal pinjaman ke koperasi tempat saya bekerja yang bekerja sama dengan salah satu bank syariah. Lucunya, pada saat itu saya kekurangan dana untuk persiapan pernikahan saya. Tanpa menunda, saya langsung mengajukan kredit dalam jumlah sedikit saat itu karena tujuannya hanya untuk menambah kekurangan dana pernikahan. Alhasil, diluar perkiraan, proses pencairan kredit pun sangat CEPAT dan MUDAH. Bisa dibayangkan pernikahan sakral saya dibiayai oleh perbankan syariah. Seru juga! Hehe...
Tidak hanya itu, pencapaian demi pencapaian pun mengantarkan saya menikmati pengalaman menyelesaikan studi pascasarjana di Inggris 2015-2016 seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Salah satu mata kuliah yang saya ambil saat itu adalah Infrastructure and Project Finance. Disinilah saya benar-benar terbelalak bagaimana besarnya potensi tersembunyi dari ekonomi berbasis syariah ini, khususnya di negara yang concern dalam pengembangan infrastruktur.
Di saat Indonesia masih didominasi oleh pembiayaan dari bank konvensional ternyata tidak sedikit para investor dan negara maju yang saat ini mempercayakan pembiayaan infrastruktur dari islamic finance. Kestabilan yang ditawarkan ekonomi berbasis syariah pada krisis keuangan global 2008 seakan-akan menjadi magnet bagi investor untuk beralih ke pendanaan syariah. Namun pertanyaan besar pun muncul lantas mengapa pembiayaan syariah di Indonesia belum menjadi primadona? Apakah karena pemahaman awal bahwa ini hanya untuk kalangan Muslim atau karena pemahaman basis ekonomi syariah masih belum dimengerti secara komprehensif? Berikut beberapa insights yang hendak saya share.
Yescombe, E.R. (2014) dalam bukunya edisi kedua berjudul Principles of project finance, memaparkan bahwa pembiayaan berbasis syariah yang didasarkan menurut hukum Islam telah menjadi trend positif dalam pendanaan infrastruktur belakangan ini. Pasar untuk islamic finance berkembang 20% per tahun sejak 2006, meskipun mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang dirugikan pada periode itu akibat speculative investments. Ada beberapa unsur larangan yang dijabarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan nada yang sama, Finnerty, J. (2013) dalam bukunya Project financing edisi ketiga juga memaparkan beberapa istilah di perbankan syariah yang melarang kegiatan yang mengandung unsur-unsur:
- Maisir, dapat didefinisikan secara harfiah sebagai upaya memperoleh sesuatu dengan sangat mudah dan tidak dibarengi dengan kerja keras, atau dengan kata lain, mendapat keuntungan tanpa bekerja. Hal ini juga meliputi kegiatan bisnis yang di dalamnya jelas bersifat spekulasi, untung-untungan serta tidak logis, tidak rasional, bahkan barang yang ditawarkan pun tak jelas baik secara kualitatif dan kuantitatif. Finnerty mentranslasikannya dengan gambling or speculation.
- Gharar, diartikan dari sisi terminologi merupakan sebuah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan dimana di dalamnya diprediksi tidak ada unsur kerelaan. Terminologi ini merupakan kegiatan bisnis yang tidak memiliki kejelasan dari sisi kualitas dan kuantitas. Bahkan dari sisi waktu dan harga terjadinya transaksi pun tidak jelas. Kegiatan bisnis yang mengandung terminologi ini merupakan jenis bisnis yang mengandung risiko tingkat tinggi. Bahkan, transaksi yang terjadi dalam bisnis pun tak pasti. Dengan kata lain, kepastian usaha sangat kecil sedangkan risiko yang dikandung cukup besar. Finnerty mentranslasikan Gharar sebagai unnecessary risks.
- Riba, yang merupakan pengambilan tambahan dari modal atau harta pokok secara bathil. Finnerty mentranslasikannya sebagai unjust enrichment. Umumnya riba diklasifikasikan jadi dua riba hutang-piutang dan riba jual beli. Kelompok riba hutang piutang dibagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.