Tidak banyak dari kita memahami dan sadar bahwa setiap makhluk pasti punya hasrat besar, naluri mendorong mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Apakah untuk memenuhi kebutuhan sekedar bertahan hidup di dunia atau melampaui kebutuhan tujuh turunan. Terlepas dari ragam usaha, upaya kerja keras, cerdas bahkan licik dan culas dalam mengakumulasi harta benda, pasti ada yang "berhasil", namun jauh lebih banyak lagi yang "gagal".
Keinginan mengakumulasi, menumpuk harta, meraih jabatan terus memenuhi hasrat bawah sadar yang tak kunjung terpuaskan. Tentu saja dari hasil akumulasi kekayaan itu, ada yang sungguh berhasrat tulus berbagi secara manusiawi, menyumbang bersifat karitatif. Bagi-bagi rejeki yang semakin menumpuk dengan ikhlas dan penuh kasih-sayang, mengangkat harkat hidup manusia yang belum beruntung. Sayang sekali, tampaknya jumlah manusia yang mampu memenuhi keinginan tulus ikhlas secara karitatif kini semakin langka.
Memang ada benarnya, there is no free lunch. Kalau mesti harus bagi-bagi hasil kerja keras, baik yang sungguh-sungguh bersih bin halal atau tumpukan dari hasil korupsi bin haram, lalu kompensasinya apa? "Kepentingan" apa dan "ego" siapa yang sesungguhnya benar dan benar sungguh-sungguh tulus tanpa pamrih sedang diperjuangkan?
Betul sudah sunatullah, dunia berputar, masa beredar, waktu berjalan seiring kehidupan yang terus berlanjut. Bak air pegunungan, mengalir merambah melintas hutan belantara, mengikuti dan mencari tempat lebih rendah, menyusuri aliran sungai, menuju muara dan akhirnya.....ke.... lauuut. Namun harta kekayaan, terutama dalam bentuk uang jarang mengalir atau menuju ke tempat yang rendah, kepada rakyat jelata, miskin, papa sengsara.
Sesuai dengan sifat kekayaan-uang terakumulasi, menumpuk dan beredar di pusat-pusat kekayaan para pemilik modal, elite kaum kapitalis. Tentu saja pusat utamanya lembaga keuangan, bank-bank, industri dan perdagangan yang amat memihak dan memanjakan para pemilik uang. Sebaliknya amat tidak menghargai dan menafikan keberadaan kaum pinggiran yang bernasib kurang atau belum beruntung, karena tak punya cukup uang untuk dapat diakui dan "dihargai" bisa masuk kelompok berperilaku hedonis, kapitalis, borjuis dan neo feodalis itu.
Kini atas nama silaturahim, banyak komunitas dibentuk dan dibangun ditengah kesibukan mencari nafkah keluarga. Atas nama agama dan sosial kemanusiaan banyak cara untuk menumpuk dan mengakumulasi kekayaan sedikit demi sedikit dari yang banyak. Sayangnya, seperti ada yang lepas tak nyambung dan menyatu dari setiap komunitas yang terbentuk itu. Sepertinya kita semua kehilangan ketulusan dan keikhlasan dalam bersilaturahim. Kesadaran untuk berbagi ikhlas dalam suka-duka "apa adanya" telah tergantikan formalitas, kering ide murni dan pendangkalan dalam ragu dan tanda tanya besar, "ada apa-apanya" yaa? Semua seolah punya hidden agenda pribadi, ada kepentingan tersembunyi yang sungguh cilaka, benar-benar tak memihak kepentingan komunitas. Visi, misi, fungsi dan tujuan bersama komunitas dalam jangka panjang menjadi kabur. Semua menjadi rapuh, gampang retak, bahkan pecah berkeping-keping dalam memenuhi ego dan keinginan untuk merasa lebih layak "dihargai", sulit menyamakan persepsi yang perseptif. Semakin langka orang bijak dan berani bertanggungjawab.
Kini dalam banyak komunitas, selain ada kesadaran untuk memenuhi kebutuhan sosial kemanusiaan, tak jarang menyala hasrat terpendam, menguatnya ego diri dari hasrat dan keinginan untuk "diakui dan dihargai". Sayangnya prasyarat untuk memperoleh "pengakuan dan penghargaan" dari komunitas tak banyak memenuhi nilai-nilai luhur kemanusiaan kecuali pupur palsu dan semu. Semua tak lagi peduli pada keunggulan moral, kebajikan dan kemuliaan nilai virtues. Kita kini hadir dalam komunitas seolah unjuk identitas palsu dalam bentuk show-off! Kita bisa pamerkan semua "keberhasilan" dan "kepintaran" bahkan "kelicikan" tanpa malu-malu dan tepa selira. Sekedar ingin mendapatkan "pengakuan" dan "penghargaan" yang tak sungguh tulus-ikhlas, karena hanya pendangkalan picik pada tataran superfisial, tak menyentuh kedalaman niat, pemikiran, perkataan dan perbuatan yang subtansial.
Kegemaran show-off, sesungguhnya hanya ingin mendapatkan perhatian, memenuhi ego dan menipu diri sendiri seolah-olah kita benar-benar hebat. Ada kerancuan dan kesalahkaprahan kalau tak dapat dikatakan sesat pikir dalam menggunakan daya nalar berakal sehat seutuhnya. Terbiasa rancu "berpikir dengan perasaan dan merasakan segala sesuatunya dengan pikiran". Semua jadi tak utuh, compang-camping dan tentu bisa chaos.
Padahal semua juga mengetahui walau tak semua sadar bahwa, hidup manusia bergelimang harta kekayaan berlimpah ruah dengan jabatan "selangit" atau hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup, bahkan yang tak mampu sama sekali hidup "layak" di dunia fana ini, semua akan berakhir sama....berujung pada kematian. Setiap yang hidup -terlepas jabatan-kaya-miskin-sengsara- akan mengalami mati. Baik mengalami kematian secara "wajar" husnul khotimah atau secara mengenaskan, hingga yang hanya mewariskan ketidakwajaran bahkan kesengsaraan menanggung malu bagi anak-anak dan cucu turunannya. Kenapa manusia tak juga mau memahami nilai moralitas dan bangkit sadar diri? Kenikmatan dan kesyukuran apa yang mesti kamu ingkari? Haruskah menunggu kematian dalam sakratul maut yang bisa mengakhiri...? Kesadaran tak harus datang terlambat! Wallahu'alam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H