Kehadiran kita dalam komunitas apa saja, lebih suka menonjolkan sikap dalam perilaku tampilan tampaknya. Memang lebih sulit melihat yang tidak tampak nyata, tak wujud-abstrak, dibanding terlihat jelas, wujud-konkret!. Nyatanya fakta mudahkan pemahaman sadar visual, kesaksian mata yakinkan seolah demikianlah apa adanya.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan, agar tipuan visual tak menyilaukan mata. Akibatnya bisa tak mampu melihat yang sejatinya benar dengan sadar. Bila hal ini terjadi pada kita, sesungguhnya dapat menyulitkan diri untuk bersikap obyektif. Lalu kita masuk jebakan, terperangkap kebiasaan hidup berciri kepalsuan semu, selalu suka berpamrih, punya agenda ragam kepentingan, karena dari awal memang berniat mesti ada apa-apanya.
Dalam hidup keseharian tak jarang muncul beragam komunitas, sadar atau tidak, otoritas leader-nya berperan membentuk kemunafikan sikap dan perilaku individu. Akibatnya individu enggan mengungkap kebenaran hati nurani sendiri, demi kebersamaan dalam komunitas, walaupun berkorban dengan toleransi palsu. Tradisi yang sungguh berbahaya, karena dapat mengeliminir karakter baik, sifat bajik dan kepribadian luhur setiap individu.
Dominasi leader informal cukup menentukan, konon lagi bagi yang beruntung terpilih memiliki jabatan formal dengan segala privilese, hak istimewa yang melekat padanya. Pastilah sangat mampu mempengaruhi untuk menjadikan anggota komunitas atau bawahannya menjadi "pak turut" alias yes man. Sycophantical, slavishly agrees with a superior.... bahkan bersiap memuji, memuja serta sedia dieksploitasi dan diperbudak sang boss, demi berharap sedikit fasilitas, uang dan serasa ikut berkuasa sebab amat dekat dengan yang pegang kekuasaan! Mungkin juga kebanyakan dari kita sulit lupa, walau kadang insomniak dalam jebakan mental inlander.
Sialnya, apabila kebanyakan anggota komunitas yang banyak tidak mendapatkan seorang leader sejati yang bersedia hidup asketis. Menurut Adi Andojo Soetjipto, kita perlu pemimpin yang berjiwa prajurit, bermakna hidup prasaja secara sederhana, jujur, dan hemat alias irit. Pemimpin berjiwa prajurit tentu punya visi memajukan, mencerdaskan serta menyejahterakan hidup rakyat, warga, anggota komunitas dan bangsanya.
Untuk menjadi pemimpin yang bersifat prajurit, perlu kesadaran penuh dari dalam hati nurani yang terdalam. Kepahaman yang cerdas berkat adanya kesadaran nurani, mampu hadirkan pencerahan dalam jiwa. Maka berbekal jiwa tercerahkan sebagai pembalut raga, tampilan luar fisik tubuh munculkan sikap hidup asketis, menerapkan pola kesederhanaan, kejujuran dan kesediaan berkorban untuk orang lain. Berbagi keunggulan moral dan kebajikan dengan sesama umat manusia secara manusiawi.
Bila yang terjadi kini adalah kebalikan dari sikap hidup jiwa asketis, dalam bentuk pola dan gaya hidup hedonis dan konsumtif, tak lain disebabkan muncul kembali neo-feodalisme, kapitalisme, neo-liberalisme pemuja paham materialisme yang amat serakah dan sangat kejam, berlebihan mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam. Jelas ada kesesatan dan kerancuan berpikir karena para leader tak mempraktikkan sikap perilaku keteladanan agar pantas untuk layak disebut pemimpin sejati.
Yang pasti terjadi adalah akibat manusia keliru meletakkan jiwa dalam kesadaran nurani yang mencerahkan. Salah karena menempatkan raga, fisik dan tubuh seolah menjadi pembalut jiwa! Membolak-balik sunatullah bahwa sesungguhnya adalah jiwa pembalut raga. Sudah saatnya kita sadar untuk menempatkan tampilan jiwa lebih utama daripada raga! Utamakan raga hanya menampakkan tampilan palsu, fatamorgana tak berwujud nyata. Tak akan pernah mampu munculkan manusia dan menjadi bangsa nan bermartabat, bersikap perilaku manusiawi. Semoga ada kesepahaman bangkit kesadaran bersama, hadirkan jiwa luhur, unggulnya moral pembalut raga. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H