Lihat ke Halaman Asli

Antara Daya Saing dengan Pesaing

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kemarin saya hadir terlambat pada seminar dengan topik "Daya Saing Ekonomi Indonesia Terhadap Serbuan Ekonomi Global, Antara Cita dan Fakta" di Universitas Paramadina, hasil kerja bareng Nabil Society. Saya hadir ketika pembicara kedua Prof.  Azyumardi Azra sedang menyampaikan pandangan hasil pemikirannya. Saya tak sempat  mengikuti buah pemikiran Anies Baswedan PhD, sebagai pembicara pertama perihal topik seminar.

Banyak data dan fakta diungkapkan pembicara DR Prasetyantoko dan Wijayanto, MPP tentang kondisi ekonomi negeri sendiri dan perbandingan dengan kemajuan negara tetangga dekat maupun jauh. Seminar yang dipandu Aan Rukmana, MA dari Nabil Society cukup menarik. Tentu saja sesi tanya jawab memperkaya acara seminar melalui sharing pemikiran peserta, berkontribusi menyamakan persepsi tentang daya saing ekonomi Indonesia. Misalnya pertanyaan menarik DR Melly G Tan -Sosiolog Senior-, mengungkap bahwa dua pembicara pertama secara filosofis menyampaikan kondisi terkini bangsa, sementara dua pembicara terakhir melengkapi secara teknis operasional didukung data mumpuni. Pertanyaan inti menurut tangkapan saya, strategi jitu apa sejatinya ditawarkan pembicara agar bisa memicu solusi pemulihan kondisi karut marut bangsa, ketika kemiskinan dan masalah kerentanan sosial masyarakat menjadi kausa prima? Pertanyaan mendasar sulit untuk dijawab tuntas, konon lagi mendapatkan solusi praksis dalam rentang waktu setengah hari seminar yang relatif singkat.

Juga ada beberapa pertanyaan para senior yang cukup tajam tentang lemahnya leadership, tak ada tokoh layak teladan, hanya menjalankan peran dealership.  Bahkan ada pertanyaan, lebih tepat menggugat bahwa, pemikiran ragam pakar banyak yang brilian,  bernas dan bagus-bagus, namun setelah itu so what gitu hlo? Para pakar dan pengamat tak punya privilese sebagaimana laku eksekutif. Akibatnya hasil pemikiran brilian tidak bisa dieksekusi menjadi tindakan nyata. Bahkan jarang menjadi bagian dari rumusan kebijakan ataupun ketidakbijakan penguasa.

Padahal bisa saja opini memicu suatu kebijakan pemerintah, demi masa depan bangsa yang lebih baik dan maju. Elite penguasa semestinya mau buka mata, pasang telinga, mendengar, mengerti, memahami, lalu merumuskan menjadi kebijakan pemerintah. Bila saling pengertian terbangun, sedia saling berbagi melalui partisipasi para pakar dalam masyarakat madani, tentu kecenderungan pembiaran banyak kasus dan penyelesaian tak tuntas ragam masalah negara dan pemerintahan tidak akan terus berlanjut secara berlarut-larut.

Moderator menyatakan pada termin kedua bahwa, masih ada waktu sesi tanya jawab pada termin ketiga. Saya siap ajukan pertanyaan pada termin ketiga berkaitan dengan data angka ekonomi perbankan yang disajikan, kalau tak salah nyatakan bahwa 1,3% deposan menguasai lebih dari 74%  deposits. Artinya 98,7% deposan hanya memiliki simpanan deposito secara nasional kurang dari 26%. Sudah tentu di luar 98,7% deposan tersebut, jauh lebih banyak lagi penduduk negeri yang tak mampu sama sekali memiliki simpanan deposito, bahkan amat sangat banyak yang tidak bankable. Tak tersentuh bank karena tak mampu, tidak memiliki cukup dana berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lain kecuali terperangkap bujukan rentenir dan tukang kredit.

Pertanyaan saya, tidakkah fakta pemusatan akumulasi kekayaan pada segelintir predatory global elite yang sejatinya menumpuk kekayaan dari eksploitasi massa, justru memperlemah daya saing bangsa karena terjadi penghisapan dan pemiskinan massa?.  Pertanyaan ini menegaskan pernyataan Prof. Azra bahwa sepanjang Pondok Indah sampai Kampus UIN  Ciputat, begitu amat banyak swalayan raksasa dibanding satu-satunya pasar tradisional Ciputat. Artinya ada ketimpangan akses ekonomi dan sosial, akan membuat sikaya makin kaya dan si miskin tambah miskin dan lemah, akhirnya hanya bisa pasrah menjadi "budak" yang kaya atau negara kaya.

Pertanyaan saya lainnya terkait prediksi kemungkinan Indonesia masuk middle income trap. Sulit mencapai advance,  makin tertinggal dari negara tetangga yang pertumbuhan ekonominya melampaui kita. Naiknya pendapatan perkapita bukan berarti meningkatnya daya saing, kecerdasan, kesejahteraan dan kemakmuran individu anak bangsa. Tetapi karena ada segelintir orang Indonesia masuk dalam daftar orang terkaya, lalu hasilnya menegasikan mayoritas masyarakat yang berpendapatan kurang dari $1,000 setahun. Faktor kuncinya, masalah ketimpangan akses dan pendapatan riel individu memperlemah daya saing kita sebagai bangsa merdeka.

Pertumbuhan ekonomi kita banyak dari berkah, dampak serbuan ekonomi global melalui FDI maupun pasar keuangan, sementara negara Eropa seperti Yunani, Portugal, juga Irlandia dan Italia terlilit krisis utang. Benar adanya kini Indonesia bak pesawat auto pilot, tetap melayang nyaman, meskipun dengan pemerintahan yang tak memerintah.  Tanpa sistem dan kebijakan yang jelas dan tegas, pertumbuhan 6% terwujud dengan sendirinya.

Ternyata leadership bukan saja lemah seperti diungkapkan peserta seminar, Kompas hari ini misalnya memuat opini Soegeng Sarjadi dengan judul "Lumpuhnya Kepemimpinan".  Saya kutipkan sedikit : "Semua kegaduhan dan ketidakpastian itu terjadi karena -sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan- Yudhoyono seperti orang yang tidak berdaya. Ia menjadi lame duck. Padahal, harapan 60% pemilih dititipkan di atas pundaknya. Di dalam keluarga orang-orang yang menaruh harapan itu, ada bayi, anak kecil, dan manula. Kebanyakan dari mereka tentu saja hidup dalam kemiskinan dan kekurangan".

Kedua pertanyaan yang saling berkait itu tak sempat saya tanyakan, karena moderator telah menutup acara sebab waktu jua yang membatasi, sehingga termin ketiga tanya jawab dibatalkan. Dengan berbagi opini di Kompasiana, saya ungkapkan dengan persepsi yang mungkin perseptif, bahwa penguatan daya saing kita tidak semestinya dipicu oleh pesaing atau konkuren dari luar diri atau bangsa sendiri. Kita harus mampu keluar dari perangkap turunan mental inlander,  gaya kepemimpinan aristokratis dan neo feodalisme. Agar mampu bersaing dan tak tersaingi, kita harus punya saing atau taring yang tajam dan berkualitas tinggi. Maksudnya lebih berat pada peningkatan kecerdasan berkualitas, keunggulan mental, kebenaran, kebajikan dan kemuliaan moral bangsa.

Mau dan mampu menginternalisasikan dan membumikan nilai-nilai virtue dalam diri setiap individu anak bangsa. Menghindarkan setiap transaksi yang menjurus kepada riba-based economic, karena pelaku berhasrat serakah, penuh tipu daya, hanya mengeksploitasi umat manusia oleh a predatory global elite. Tujuannya menghasilkan penumpukan kekayaan pada segelintir kapitalis yang berperilaku menghisap, memiskinkan dan menyengsarakan umat manusia secara tidak manusiawi, akhirnya hanya menciptakan sistem perbudakan moderen. Percayalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline