Lihat ke Halaman Asli

Merasa Beragama, Serasa Beriman-Bertakwa-Bertuhan, Tak Merasakan Tuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah kuungkapkan dalam suatu tulisan bahwa merasa itu bisa bermakna mengalami apa yang dapat dirasakan oleh fisik.  Bisa merasa,  juga berarti mampu merespons bisikan hati nurani melalui indera dan garizah-intuisi ilahiah dalam diri kita. Memahami makna keduanya bagai mengerti peran agung kebenaran nilai indriyah (logika/penalaran pikiran/sistem syaraf otak). Sekaligus memahami kemuliaan fungsi tak terperikan dari  garizah-intuisi ilahiah (nilai-nilai fithriyah) yang hidup (bangun atau terlelap) selaras dalam diri umat manusia.

Manusia terus belajar memahami untuk bisa merasakan Tuhan dalam beragama dengan cara beriman dan bertakwa kepada-Nya. Beriman dan bertakwa dimaksudkan agar manusia mampu menjalani aktivitas hidup sehari-hari dalam kegiatan mengatur hubungan kepentingan antar sesama manusia selaras dengan keyakinan, keinsafan serta kesadaran yang terbentuk oleh IPK masing-masing. IPK bukan singkatan lazim dari Indeks Prestasi Kumulatif, tetapi saya artikan punya Ilmupengetahuan, Pengalaman dan Ketrampilan berpersepsi yang perseptif. Mempunyai kesadaran tajam untuk bisa dan mampu melihat manusia dan alam semesta secara lahir-batin, selaku tajam tilik.

Beriman dan bertakwa yang saya maksud bukan bersifat dogmatik, pemahaman tentang suatu ajaran yang tidak boleh dipersoalkan karena harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Karena sesungguhnya tak ada yang mutlak dalam hidup manusia serta alam semesta, kecuali Tuhan (Allah) Maha Pencipta segala kehidupan dan kematian di dunia dan akhirat. Tentu saja kemutlakan  Tuhan hanya dapat dirasakan hadir dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup yang bisa meyakini keberadaan-Nya. Sebab tanpa keyakinan dan kepercayaan total secara sadar lalu insaf, sulit bagi manusia dapat menjalani kehidupan yang benar, setara, adil, jujur, ikhlas serta sejalan, seirama, sesuai dan selaras dengan sunatullah.

Bahkan malaikatpun bertanya ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, karena menduga manusia hanya bakal mendatangkan bencana dan kerusakan di muka bumi. Konon pula manusia ciptaan-Nya yang paling mulia, kiranya layak mempertanyakan siapa dirinya, eksistensinya, tujuan hidupnya di dunia dan bagaimana cara terbaik mengakhiri perjalanan hidupnya serta seperti apa menjalani kehidupan kelak di akhirat. Yaa benar, bagi manusia yang memiliki keyakinan dan memeluk suatu agama sebagai orang beriman, semestinya percaya bahwa ada kesinambungan proses sikap dan perilaku hidup di dunia dengan apa yang bakal dialami di akhirat nanti.

Semua niat, pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik-baik dipercaya akan mendapat ganjaran Tuhan berupa pahala sebagai buah kebajikan dan kemuliaan hidup di dunia. Sebaliknya segala niat, pikiran, perkataan dan perbuatan yang melanggar hukum Tuhan, semisal berbuat salah, berbohong, mencuri, menipu, korupsi, mengkonsumsi riba, atau berperilaku munafik dengan semua turunannya, dipercaya telah berdosa. Dosa adalah ganjaran yang bakal diterima manusia akibat tidak taat dan patuh pada suruhan dan atau melanggar larangan Tuhan. Semua termaktub dalam kitab suci sebagai peraturan, pedoman dan hukum yang mengatur tata tertib, dari dan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk  keunggulan moralitas, kemuliaan, kebenaran dan kebajikan hidup manusia selaras dengan alam semesta.

Dengan demikian agama yang dalam bahasa Arab disamakan dengan ad-din, al-millah, asy-syariah, atau dalam relasi antar bangsa disebut religion, bermakna yakin, percaya dan beriman pada suatu kekuatan gaib-supernatural. Seperangkat keyakinan, nilai-nilai yang dipraktikkan sesuai ajaran yang berasal dari kekuatan adikodrati sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur kehidupan serta kematian umat manusia beserta seluruh alam semesta. Beragama yang benar berarti memiliki pemahaman secara sadar, lalu insaf dengan keyakinan yang mantap dan kuat untuk setiap saat, setiap detik selagi jantung berdenyut, memelihara diri tetap taat melaksanakan semua suruhan, atau perintah dari Tuhan dan meninggalkan serta menjauhi segala bentuk larangan-Nya.

Hanya melalui pemahaman dengan keyakinan dan kesadaran serta keinsafan menyeluruh secara kafah menggunakan akal sehat indriyah dan fithriyah, kita bisa dikatakan telah beragama, beriman dan bertakwa. Bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap celah ruang dan waktu ketika kita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Tuhan telah menyatu dalam aliran darah, jantung, otak, pikiran, garizah-hati nurani dan jiwa kita sebagai puncak kesadaran bertuhan karena telah beragama dengan benar secara total. Secara konkrit tercermin dalam niat, pikiran, perkataan, tindakan dan perbuatan kita. Spontan, tanpa rekayasa dalam kepura-puraan atau hidup bersama melakoni kepalsuan. Semua akan terlihat ketika bersikap dan berperilaku menjalani hidup setiap saat. Pagi-siang-sore-malam-pagi-siang-petang-malam sepanjang hayat, selagi jiwa masih setia berada dalam kandungan badan. Bukan hanya muncul ketika bersembahyang, berjemaah, berkhotbah dan merayakan upacara ritual rutin keagamaan sahaja.

Dengan pemahaman keberagamaan secara sadar dan insaf, maka beragama tidak boleh hanya berhenti pada acara ritual. Sekedar berkaitan dengan berupacara merayakan ritus keagamaan secara rutin, tak melekat dalam sikap dan perilaku. Karena bila demikian adanya -tampaknya masih seperti itu yang berlaku hingga kini pada umat-, maka sungguh Tuhan tak pernah hadir dan dapat dirasakan dalam diri, hati nurani dan jiwa manusia.  Maka umat manusiapun tak pernah mampu mencegah dirinya lepas dari perbuatan dosa; berbuat salah, berbohong, mencuri, menipu, korupsi, merekayasa kasus, mengkonsumsi riba, menganiayakan kaum duafa-sengsara dan atau berperilaku munafik dengan segala turunannya.  Sebab dalam keyakinan, kesadaran dan keinsafan manusia yang serba tanggung itu, Tuhan ternyata hanya ada dalam gereja, masjid, sinagog, vihara, dan tempat-tempat pemujaan ritual kaum beragama lainnya yang kini cenderung semakin melompong. Tak pernah benar-benar kita menyadari dan insaf untuk menghadirkan Tuhan dalam diri setiap saat, agar mampu bersikap dan berperilaku mencegah diri, keluarga, dan lingkungan dari berbuat kerusakan dan dosa sehari-hari.

Manusia tidak atau  belum berhasil hingga kini menginternalisasikan Tuhan dalam dirinya. Tak mampu menyatukan-Nya dalam aliran darah, jantung, otak, pikiran, garizah-hati nurani, dan jiwa untuk bisa berbagi dalam damai, sejahtera dan bahagia dengan sesama makhluk hidup. Belum mencapai puncak kesadaran bertuhan, walau setiap saat beribadah dan mengaku telah beragama dengan benar sesuai dengan hasil pulungan kitab-kitab suci, sambil setiap hari tetap rajin dan rutin berbuat dosa.

Semua pemuka umat beragama tampak telah berhasil memulung makna (murni atau dibumbui tafsiran persepsi sendiri) surat dan ayat-ayat dalam kitab suci lalu dibagi dan dikhotbahkan kepada umatnya. Namun sesungguhnya tak pernah berhasil menyadarkan umat untuk bersikap dan berperilaku sebagaimana dipahami, dimaksud dan diimplementasikan sesuai tujuan dari kitab suci itu. Tak  tampak kemajuan nyata moralitas umat manusia dalam bersikap dan berperilaku hingga kini, walau manusia telah mengenal Tuhan sejak lebih dari 6.000 tahun yang silam atau bahkan jutaan atau miliaran tahun yang lalu sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Ada yang salah dalam pemahaman dan kesadaran beragama, beriman, bertakwa dan bertuhan umat manusia. Suatu kesalahan fatal yang berakibat pada sikap dan perilaku manusia tak bisa hidup sejiwa, sama dan sebangun dengan ajaran-ajaran keunggulan moral, kebenaran dan kebajikan (virtue), dari kitab-kita suci yang diajarkan, dipelajari dan dikaji secara turun temurun, sejak Nabi Adam turun ke bumi.

Sadar berarti tahu, mengerti, paham dan merasakan kehadiran Tuhan dalam diri dengan penuh keyakinan hingga kita menjadi insaf. Insaf  bermakna memahami dan mengerti sepenuhnya bahwa ada yang keliru dan salah dalam kita bersikap dan berperilaku (cerminan dari niat, pikiran, perkataan dan perbuatan) karena itu bertekad kuat untuk segera memperbaikinya. Keinsafan dan kesadaran bahwa kita telah bersikap dan berperilaku keliru dan salah, memberi ruang bagi kita untuk memperbaiki diri melalui upaya terus menerus menyempurnakan IPK. Ilmupengetahuan, Pengalaman, dan Ketrampilan yang  unggul dan cerdas berlandaskan pada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kebajikan moral dan kemuliaan hidup manusia. IPK yang diperoleh dari hasil mengoptimalkan fungsi peran agung nilai indriyah (logika/penalaran pikiran/sistem syaraf otak) selaras dengan mendayagunakan kemuliaan fungsi tak terperikan dari  garizah-intuisi ilahiah (nilai fithriyah).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline