Lihat ke Halaman Asli

Pahlawan Vs. Pengkhianat

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kini hampir semua hal tidak lagi merujuk kepada hakikat. Tidak mengacu kepada inti makna dari suatu kata atau ungkapan. Semua kita seolah berhak menafsirkan sesuatu berdasarkan perspektif, kebutuhan dan kepentingan. Tafsiran yang tak jarang konyol, seenak perut (bukan otak unggul) sendiri. "Aku yang berkuasa kini, aku yang memutuskan, akulah kebenaran, kalian mau apa?". Seakan-akan tak ada lagi yang bisa digunakan sebagai acuan bersama. Pedoman yang berlaku umum bagi sesama manusia,  bangsa, komunitas, keluarga ataupun diri pribadi. Sistem nilai menjadi rancu, nilai-nilai luhurpun dikorup. Korupsi tidak hanya sebatas harta benda dan uang tapi telah mengikis nilai-nilai hakiki kebenaran  moral, pikiran bahkan jiwa mulia manusia.

Kekuasaan memang membuat penguasa lupa. Sebelum berkuasa ada terlintas asa berbuat kebajikan bagi bangsa. Realisasi janji menjadi sirna ketika pesta pemilihan usai. Mandat telah diterima, kini bagaimana upaya agar rakyat lupa semua janji dan ucapan penguasa. Ungkapan klasik tentang kekuasaan yang masih relevan hingga kini berbunyi : "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely". Kesadaran bahwa bila punya kuasa cendrung korupsi dan kalau mutlak berkuasa akan melakukan korupsi secara absolut, tak lagi dimaknai dan dipahami secara mendalam. Padahal makna kata corrupt itu sinonim dengan debase, debauch, deprave, pervert, vitiate yang pada intinya bermakna : Runtuh dan bobroknya secara lengkap, utuh dan mutlak karakter, moral serta kualitas hidup sebagai manusia". Bagaimana mungkin bisa terjadi bertahun-tahun bahkan puluhan tahun negara besar seperti Indonesia ini dipimpin oleh manusia tanpa karakter, tak berkualitas dengan moralitas rendah?  Betul-betul suatu fakta sejarah yang sangat sulit diterima akal sehat. Adakah yang salah dan rancu ketika mengeksekusi dan menerapkan tujuan serta sistem nilai berbangsa dalam benak para penguasa? Pertanyaan besar yang perlu kajian bersama, karena kekeliruan mendasar ini membuat kita layak bertanya, samakah makna pahlawan dengan pengkhianat bangsa?

Bila ada manusia dikukuhkan sebagai Pahlawan, seharusnya tidak hanya menjadi sekedar mitos dan legenda. Sekedar buah bibir cerita rakyat yang mendongeng tentang dewa kayangan-suargaloka entah berada dimana.   Tapi seharusnya bisa membumi, dimaknai secara logika, dihayati dengan jiwa yang  menyatu dengan dunia nyata. Sifat, sikap dan perbuatan kepahlawanan yang benar-benar mampu memberi suri tauladan  bagi sesama, karena merasuk jauh kedalam sukma.   Membangkitkan kesadaran manusia untuk mengikuti nilai-nilai juang dengan tekad perkasa memiliki keberanian, kekuatan dan kemuliaan hidup. Rela berkorban jiwa-raga  demi menegakkan kebenaran, memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan lemah tak berdaya, membela kehormatan bangsa secara ksatria -sifat yang kini semakin langka. Bersungguh-sungguh menggunakan mandat kekuasaan rakyat seluas-luasnya hanya untuk memakmurkan dan mencerdaskan bangsa. Berjuang mewujudkan perdamaian dunia, mengangkat harkat dan martabat manusia. Bertekad bulat meningkatkan kreatifitas, produktivitas dan kualitas kehidupan manusia. Mampu menghidupkan sifat positif  ilahiah  dalam diri,  mencapai hidup sejahtera, nyaman serta bahagia selaras dengan lingkungan kehidupan manusia bersama  alam semesta.

Apabila yang dilakukan penguasa adalah sebaliknya, pantas disebut sebagai Pengkhianat bangsa dan umat manusia serta alam semesta. Orang khianat tidak punya rasa setia, pikiran dipenuhi tipu daya, tak bisa dipercaya, semua ucapan kata-kata penuh dusta,  berjanji hanya untuk diingkari sendiri dan dalam meraih kuasa atau bersaing demi kemuliaan hidup manusia justru dengan cara dan pola  curang, culas dengan menghalakan segala cara. Lazimnya seorang yang berlaku sebagai pengkhianat tidak memiliki rasa malu, tak punya rasa bersalah dan sangat rendah rasa tanggunjawab sosial kemasyarakatannya.  Hingga kini proses pengkhianatan tampak berjalan dalam keseharian menjadi seolah-olah hal biasa-biasa saja.  Tak lagi ada lagi perhatian yang dapat memicu kebangkitan hati nurani serta kepekaan rasa kemanusiaan kita. Pengkhianat ada dimana-mana, dalam melakukan ragam transaksi dan hubungan antar manusia.  Tanpa  dipicu bangkitnya kesadaran diri kita, terutama para elite penguasa, tak lagi jauh beda antara pahlawan dan pengkhianat bangsa. Semakin menapak hari, semakin rusak dan terus menjadi "beti". Beda tipis antara nilai-nilai kepahlawanan dengan pengkhianatan. Tak mampu bedakan lagi antara niat, perkataan dan tindakan yang bernilai kebajikan dengan perilaku yang merusak moral, mental, dan mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan kita. Quo vadis anak-anak bangsa? Bangkitlah dengan sadar agar tercerahkan untuk dapat mampu menemukan kebenaran sejati, kebenaran ilahiah dalam diri sendiri. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline