Lihat ke Halaman Asli

Integritas=Kebenaran=Kejujuran!

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Andai kita semua setuju capaian tertinggi umat manusia adalah menemukan kebenaran sejati, kenapa "katanya" yang belum teruji benar lebih dipercaya daripada "faktanya" sebagai pendukung kebenaran yang sahih? Dilema hidup manusia cendrung berperilaku ambiguitas sejak dari dalam dirinya. Ada diri asli yang sejati seturut hati nurani dan ada pula yang lebih sering tampil di permukaan -diri palsu menurutkan ego, nafsu, serba superfisial-. Diri pribadi sebagai individu terbentuk dari rangkaian akumulasi informasi yang diterima sepanjang hayat untuk diolah, dipilah, dianalisis, dipilih oleh otak -terdiri dari neokorteks, sistem limbik dan batang otak-, kemudian disampaikan kembali sebagai buah pikir yang semestinya bermanfaat bagi kebaikan dan kemuliaan hidup manusia dan alam semesta.  Akumulasi rangkaian informasi yang terbentuk dan tertanam dalam diri, mestinya tumbuhkan pemahaman akan makna kehidupan, tujuan yang akan dicapai dan siapa diri kita sesungguhnya. Namun "sudah paham" tentu sangat berbeda dengan "sadar diri" untuk istiqomah adanya keberlanjutan kesatuan niat-pikiran-perkataan dalam perbuatan sehari-hari.   Karena itulah jauh lebih penting menumbuhkan kesadaran diri daripada sekedar gelar akademik tertinggi sekalipun. Bagaimana mungkin ketika Anda sudah paham dan mengerti permasalahan yang terjadi, namun solusi "terbaik" dari hasil olah pikir Anda hanya berpihak pada kepentingan diri dan kelompok terbatas/elite. Mengabaikan tujuan yang lebih besar dan luas bagi kebaikan, kedamaian dan kemuliaan bangsa, umat manusia serta alam semesta.

Sistem limbik sebagai lapisan otak tengah menjadi tumpuan kesehatan emosional kita. Kesehatan dan kekayaan emosional sangat berpengaruh besar atas tingkat kesadaran diri yang tinggi.  Dr. David Hawkins dalam buku Power vs. Force berhasil menyusun ragam tingkat kesadaran manusia pada skala 20 hingga 1.000 lux (ukuran kekuatan cahaya). Yang terendah adalah masih adanya kesadaran akan rasa malu-rasa bersalah-apatis (putus asa/lepas tanggungjawab). Sedangkan yang tertinggi timbul dari kesadaran murni tercapainya pencerahan, hidup dalam damai, bahagia, gembira dipenuhi cinta kasih. Dalam konteks keindonesiaan kita kini sebagai bangsa merdeka, tampaknya belum muncul tokoh elite yang mampu menumbuhkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan cendrung masih berada pada tingkat terendah. Bagaimana para elite eksekutif, legislatif dan yudikatif  dalam kesehariannya mempertontonkan kultur rendahnya rasa malu, rasa bersalah dan suka lepas tanggungjawab. Walaupun pasca reformasi bergaung riuh upaya menegakkan integritas pejabat publik melalui reformasi birokrasi dan implementasi good governance, tampak hanya retorika menjaga citra dan wibawa diri palsu, bukan diri sejati yang sadar punya visi berorientasi pada memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Padahal inti good governance, adalah pemilikan integritas dari dalam diri sejati. Memiliki integritas berarti berupaya sungguh-sungguh menemukan dan menerapkan pencarian visi kebenaran sejati. Menjalankan kebenaran berarti memancarkan kejujuran diri sejati untuk dapat dipercaya umat sebagai tokoh panutan. Adakah kejujuran diri sejati elite pemimpin negeri? Apabila seketika berkumpullah pemuka agama sebagai guardian of morality bangsa dengan tegas dan berani menyatakan ada kebohongan publik dari elite penguasa? Marilah kita terus menerus berjuang mewujudkan visi berperilaku hidup jujur dalam menegakkan kebenaran mencapai integritas bangsa! Diperlukan sikap dan tindak tegas anak bangsa, daripada sekedar berdo'a dengan selemah-lemah iman. Amin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline