Lihat ke Halaman Asli

GINA SULISTIANA

MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223110041

Quiz 9 - Diskursus Mitos dan Logos Kejahatan pada Metafora Cincin Gyges

Diperbarui: 9 November 2024   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri, Prof. Dr Apollo

What: Latar Belakang Historis dan Filosofi Dari Cerita Cincin Gyges, Seperti Yang Diceritakan Dalam Republik Karya Plato.

Mitos adalah narasi tradisional yang mengandung makna simbolis. Dalam konteks cerita Cincin Gyges, mitos ini menggambarkan kekuatan cincin yang memungkinkan pemakainya untuk menjadi tak terlihat. Cerita ini bukan hanya tentang kekuatan magis, tetapi juga menyampaikan pesan simbolis tentang godaan dan sifat dasar manusia.

  • Gyges sebagai Simbol: Gyges diartikan sebagai individu yang diberikan kekuasaan tanpa batas dan tanpa konsekuensi. Kisah ini menyoroti bagaimana kekuasaan dapat menggoda seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
  • Cincin sebagai Simbol: Cincin magis dalam cerita ini melambangkan godaan dan potensi untuk menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini mencerminkan sifat manusia yang cenderung tergoda untuk melakukan kejahatan ketika mereka yakin tidak akan ada konsekuensi yang akan ia dapatkan karena berbagai faktor pendukung yang kuat.

Sedangkan, logos adalah pendekatan rasional yang berfokus pada logika dan argumentasi. Dalam konteks cerita Cincin Gyges, logos digunakan untuk menganalisis tindakan dan moralitas secara kritis. Yang terkandung didalamnya yaitu :

  • Analisis Rasional: Pendekatan logos dalam cerita ini melibatkan analisis rasional tentang tindakan Gyges dan implikasi moralnya. Seperti, dengan mempertanyakan apakah tindakan Gyges yang membunuh raja dan mengambil alih kekuasaan dapat dianggap benar atau salah.
  • Argumentasi Moral: Melalui pendekatan logos, Socrates dan Glaucon berdiskusi tentang keadilan dan moralitas. Glaucon berpendapat bahwa orang hanya berperilaku adil karena takut akan hukuman, sementara Socrates berargumen bahwa keadilan adalah nilai intrinsik yang membawa kebahagiaan sejati.
  • Implikasi Etis: Pendekatan logos menekankan pentingnya rasionalitas dalam tindakan manusia saat diberikan kekuasaan. Dalam konteks penggunaan Cincin Gyges, individu yang bertindak berdasarkan logos (rasionalitas) dan tidak menggunakan kekuatan cincin, menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali atas diri mereka sendiri karena mampu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan memahami nilai keadailan yang sebenarnya.

Cincin Gyges adalah kisah yang ditemukan dalam Republik karya Plato, yang diceritakan oleh Glaucon dalam Buku II. Cerita ini menggambarkan seorang gembala bernama Gyges yang menemukan cincin ajaib yang memberinya kemampuan untuk menjadi tak terlihat. Dengan kekuatan ini, Gyges melakukan berbagai kejahatan, termasuk menggoda istri raja, membunuh raja, dan merebut kekuasaan. Cerita ini digunakan oleh Glaucon untuk mengajukan argumen bahwa manusia hanya berperilaku adil karena takut akan hukuman atau demi reputasi, bukan karena keadilan itu sendiri adalah hal yang baik. Dalam dialog Republik karya Plato, Socrates menanggapi argumen Glaucon bahwa keadilan hanyalah sebuah konstruksi sosial yang diciptakan untuk kepentingan individu dan untuk menghindari konsekuensi negatif dari ketidakadilan. Glaucon menggunakan cerita Cincin Gyges untuk mendukung pandangannya bahwa orang hanya akan berperilaku adil jika mereka takut akan hukuman atau jika ada keuntungan pribadi. Di sisi lain, Socrates berpendapat bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang eksternal atau dipaksakan dari luar, tetapi merupakan bagian integral dari jiwa yang baik dan harmonis.

Menurut Socrates, individu yang menggunakan kekuatan Cincin Gyges untuk melakukan ketidakadilan sebenarnya manusia yang tidak memiliki kontrol diri atas ego nya yang mengikuti dorongan dan nafsu mereka. Tindakan ini mengarah pada ketidakselarasan dalam jiwa individu, yang pada akhirnya menyebabkan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Ditempatkan di antara dua ekstrem tersebut, keadilan tidak lagi junjung sebagai kebaikan, tetapi dihormati karena ketidakberdayaan seseorang untuk melakukan ketidakadilan. Socrates berargumen bahwa keadilan sejati berasal dari kontrol internal atas diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan rasionalitas. Individu yang adil adalah mereka yang dapat menjaga keseimbangan antara berbagai bagian dari jiwa mereka seperti, bagian rasional, bagian emosional, dan bagian nafsu. Dengan menjaga keseimbangan ini, individu dapat mencapai eudaimonia, atau kebahagiaan sejati.

Dalam konteks penggunaan Cincin Gyges, Socrates berpendapat bahwa individu yang memilih untuk tidak menggunakan kekuatan atau kewenangan dengan untuk melakukan ketidakadilan, justru individu tersebut yang sebenarnya menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali atas diri mereka sendiri dan mengikuti rasionalitas. Tindakan adil ini mencerminkan harmoni internal dan pemahaman bahwa keadilan adalah nilai intrinsik yang membawa kebahagiaan sejati, bukan sekadar alat untuk menghindari hukuman. Tanggapan Socrates terhadap Glaucon menggarisbawahi pentingnya keadilan sebagai elemen yang mendasar dalam mencapai kehidupan yang baik dan Bahagia, dengan menekankan bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang eksternal atau dipaksakan, tetapi merupakan refleksi dari keseimbangan internal dan kontrol diri yang rasional.

Sedangkan menurut Plato dalam filsafatnya memberi tanggapan yang sangat penting bagi gagasan keadilan. Ia menggunakan kata Yunani "Dikaisyne" untuk keadilan yang sangat dekat dengan kata 'moralitas' atau 'kebenaran', yang secara tepat mencakup seluruh tugas manusia. Ia juga mencakup seluruh bidang perilaku individu sejauh hal itu memengaruhi orang lain. Plato berpendapat bahwa keadilan adalah kualitas jiwa, yang dengannya manusia mengesampingkan keinginan irasional untuk merasakan setiap kesenangan dan untuk mendapatkan kepuasan egois dari setiap objek dan menyesuaikan diri dengan pelaksanaan satu fungsi tunggal untuk manfaat umum. Plato, melalui tokoh Socrates dalam Republik, berargumen bahwa keadilan adalah keadaan di mana setiap bagian dari jiwa manusia berfungsi sesuai dengan peran dan tugasnya yang tepat. Jiwa manusia, menurut Plato, terdiri dari tiga bagian utama:

  1. Rasional (Logos): Bagian dari jiwa yang bertanggung jawab atas berpikir, penalaran, dan mencari kebenaran. Bagian ini seharusnya memimpin jiwa, karena ia memiliki kapasitas untuk memahami apa yang benar dan baik.
  2. Spiritual (Thumos): Bagian dari jiwa yang mencakup semangat, keberanian, dan kemarahan. Bagian ini mendukung bagian rasional dengan membantu menerapkan prinsip-prinsip rasional dalam tindakan.
  3. Nafsu (Epithumia): Bagian dari jiwa yang melibatkan hasrat, keinginan, dan kesenangan. Bagian ini harus dikendalikan oleh bagian rasional untuk mencegah tindakan yang hanya didorong oleh keinginan egois dan kesenangan sesaat.

Dalam pandangan Plato, keadilan terjadi ketika ketiga bagian jiwa ini berfungsi secara harmonis, dengan bagian rasional memimpin, bagian spiritual mendukung, dan bagian nafsu mengikuti arahan dari bagian rasional. Keadilan adalah ketika manusia mampu mengesampingkan keinginan irasional dan hasrat egois mereka demi pelaksanaan tugas yang sesuai dengan peran masing-masing bagian jiwa. Ini menciptakan keadaan keseimbangan dan harmoni dalam diri individu, yang pada akhirnya membawa kebahagiaan sejati. Plato juga menerapkan konsep ini pada tingkat negara. Negara yang adil adalah negara di mana setiap individu dan kelompok menjalankan peran mereka sesuai dengan kemampuan dan fungsi mereka yang terbaik. Pemimpin negara, menurut Plato, haruslah orang-orang yang memiliki karakter moral dan rasionalitas yang unggul, sehingga mereka dapat memimpin dengan bijaksana dan adil demi kebaikan bersama.

Dengan demikian, keadilan menurut Plato adalah tentang menempatkan setiap bagian dari jiwa dan masyarakat pada tempatnya yang tepat, menjalankan fungsi mereka dengan baik, dan bekerja bersama-sama untuk mencapai kesejahteraan umum. Ini mencerminkan keyakinan bahwa individu yang adil dan masyarakat yang adil saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Abraham Lincoln berkata, "Hampir semua orang dapat menghadapi kesulitan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan". Kutipan yang sangat relevan dengan metafora Cincin Gyges dari Republik karya Plato. Seseorang yang menghadapi kesulitan dapat menunjukkan ketangguhan dan keberanian, tetapi karakter sejati mereka akan diuji ketika mereka diberi kekuasaan. Apakah mereka akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk kebaikan atau untuk keuntungan pribadi?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline