Lihat ke Halaman Asli

Gina Sonia

Mahasiswa Ilmu Sejarah

Orde Baru Vs Ibu-ibu

Diperbarui: 14 September 2023   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.jurnalperempuan.org

Otoriter, begitulah image yang terkenal dari pemerintahan orde baru. Masa dimana pemimpin merupakan satu-satunya pihak yang mengontrol keputusan, komunikasi hanya berjalan satu arah, kaku dan cenderung menggunakan paksaan sampai kekerasan apabila masyarakat tidak sejalan dengan apa yang dikatakan pemerintah.

Tidak mudah hidup di zaman itu, khususnya bagi perempuan. Masa orde baru diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang melahirkan domestifikasi dan subordinasi terhadap kehidupan kaum perempuan. Nilai patriarki sangat dipegang teguh sehingga kebijakannya cenderung memisahkan peran antara pria dan wanita ke dalam wilayah publik dan domestik. 

Wanita diidentikkan dengan peran-peran yang berkaitan dengan kepengurusan anak dan permasalahan domestik, sementara pria diidentikkan dengan peran permasalahan publik. Salah satu kebijakan berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat dalam paham ibuisme. Kebijakan ini mendefinisikan wanita idealnya berperan sebagai ibu dan istri. Hal ini berakibat terbentuknya domestikasi dan subordinasi perempuan sehingga harus hidup dalam ketidakadilan. Perempuan dan isu perempuan masih dilihat sebelah mata oleh negara. Atas dasar itulah mendorong lahirnya gerakan-gerakan perempuan dengan maksud mengakhiri ketidakadilan yang telah mereka derita pada masa orde baru.

Salah satu gerakan perempuan pada masa orde baru ini adalah Suara Ibu Peduli. Gerakan yang dilakukan Suara Ibu Peduli bertujuan mendorong pergeseran dasar masyarakat yang berada dibawah kekuasaan negara menjadi masyarakat yang memberdayakan dirinya. Suara Ibu Peduli pada dasarnya berangkat dari kekhawatiran anggota Yayasan Jurnal Perempuan terhadap keadaan sosial-ekonomi dan sifat rezim orde baru yang otoriter dan represif. Mereka menginginkan sebuah gerakan yang menuntut perubahan sosial politik serta mendorong masyarakat khususnya kelas menengah agar peduli dengan persoalan bangsa dan bersatu untuk menggulingkan kekuasaan orde baru. Tidak hanya akademisi, gerakan ini juga didukung oleh profesional, buruh hingga ibu rumah tangga.

Kata 'Susu' dan 'Ibu' dipilih karena memanfaatkan isu kenaikan harga susu. 'Ibu' digunakan agar gerakan ini menarik banyak dukungan dari ibu-ibu. Sementara 'peduli' terkait dengan etika feminisme dimana sikap etis perempuan terletak pada kepedulian. Tiga kata itu diambil sebagai simbol gerakan sebab jika simbol yang dibawa seperti feminis, demokrasi ataupun reformasi sudah tentu akan ditolak karena terkesan politis dan radikal.

Setelah melalui proses panjang mulai dari rapat hingga penyusunan strategi, mereka akhirnya turun ke Bundaran HI pada 23 Februari 1998 untuk melakukan demonstrasi. Gadis Arivia selaku ketua Yayasan Jurnal Perempuan mengundang banyak aktivis perempuan seperti Mira Diarsi, Nur Sabani, Julia Suryakusuma, dan lain-lain. SIP juga didampingi tim pembela dari LBH (Layanan Bantuan Hukum). Meski mengatasnamakan 'ibu', namun demonstrasi ini juga turut mengundang laki-laki untuk mengambil peran. Beberapa tokoh yang kala itu aktif dalam kegiatan Suara Ibu Peduli seperti Rocky Gerung, Nur Iman Subono, Robin, Nazaruddin, Misyono, Stanley, Azas Tigor Nainggolan, dan lain lain. Aksi ini diwarnai dengan pembacaan do'a, puisi, pembagian bunga, menyanyikan lagu "Ibu Pertiwi", "Kasih Ibu", dan "Dalam  Doa Ibu Namaku Disebut."

Bukan orde baru jika tidak bertindak tegas atas aksi-aksi yang dinilai mengancam pemerintahan, bahkan jika itu hanya soal kritik dan kebebasan berpendapat. Melihat aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Suara Ibu Peduli, pemerintah dan aparat terkait tidak tinggal diam. Aksi yang hanya berjalan selama kurang lebih 30 menit tersebut, berakhir dengan penangkapan dua staf Yayasan Jurnal Perempuan yaitu Karlina Leksono, Gadis Arivia dan satu demonstran spontan yaitu Wilasih Noviana. Setelah ditahan selama 23 jam, perkara yang menyangkut ketiga aktivis ini akhirnya dimejahijaukan.

Menurut Gadis, dalam aksi demonstrasi, Ibu-ibu ini berusaha mengemukakan secara jujur kecemasan mereka atas nasib anak bayinya yang kekurangan gizi, tetapi mengapa kegiatan ini malah dipandang berbahaya oleh negara serta mengapa pemerintah terlalu mencurigai kegiatan menghimpun dana untuk mensubsidi harga susu.

Setelah mendengarkan pernyataan pendahuluan dari terdakwa dan kuasa hukumnya, hakim memutuskan untuk menunda persidangan hingga hari senin tanggal 9 Maret. Hal ini tentunya menjadi tidak biasa mengingat pada umumnya dalam perkara tindak pidana ringan, sidang akan selesai saat itu juga. Anggapan yang beredar kala itu adalah hakim belum berani memutuskan karena terpengaruh situasi. 

Bagaimana tidak, satu jam sebelum persidangan dimulai, sudah ada ratusan wanita pendukung SIP yang memenuhi halaman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahkan untuk mengantisipasi membludaknya pendukung SIP, seratus aparat keamanan yang dipimpin oleh Letkol Pol Drs Iman Haryatna dari Polres Metro Jaya harus dikerahkan ke lokasi persidangan. Ketika ketiga terdakwa keluar dari ruang persidangan, mereka disambut dukungan "Masyarakat Profesional untuk Demokrasi" yang menggelar sejumlah poster. Kasus ini, kemudian berhenti akibat reformasi. Setelah jatuhnya rezim Soeharto, sidang selanjutnya tidak pernah terjadi dan perkara ini kemudian tidak dilanjutkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline