Lihat ke Halaman Asli

Gina Sonia

Mahasiswa Ilmu Sejarah

Melihat Kembali Jakarta Abad 20

Diperbarui: 4 Agustus 2023   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Wikimedia Commons

Melihat Jakarta sekarang, rasanya sudah padat banget, ya. Pembangunan dimana-mana, peningkatan populasi, macet, hingga pemukiman yang padat penduduk.

Namun, pernah kebayang, nggak sih, bagaimana suasana pemukiman, situasi dan kondisi Jakarta jaman dulu?

Yuk, kita bahas!

Tahu, nggak sih guys kalau sebelum menyandang nama Jakarta, kota ini pernah mengalami beberapa kali pergantian nama, seperti Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga berubah menjadi nama yang sekarang kita kenal, yaitu Jakarta.

Pada awal abad 20, populasi kota Batavia mencapai 115.000 penduduk. Pada tahun 1911 diperkirakan sekitar 40% penduduk Batavia adalah migran. Populasi tersebut kemudian berkembang dengan pesat pada tahun 1900 hingga 1930, hingga mencapai sekitar 435.000 dengan angka pertumbuhan penduduk mencapai 9% per tahun. Pada tahun 1935, jumlah populasi di Batavia melebihi 500.000 penduduk.

Biasanya, kawasan pusat ditempati pemerintah kolonial. Untuk pusat perdagangan ditempati orang-orang Cina dan Timur Asing lain seperti Arab dan India, sementara pribumi menempati kawasan pinggiran yang sering menerima pendatang atau imigran. Rame banget ya, penduduknya.

Batavia awal abad 20 dapat dilihat dari 3 bagian. Pertama, bagian utara yang merupakan Batavia lama, dijadikan pusat perdagangan. Kedua, bagian tengah meliputi Noordwijk, Rijswijk, Pasar Baru, kampung Sawah Besar, Pasar Senen, Gambir, Tanah Abang dan Melayu. Biasanya, daerah-daerah ini digunakan untuk pembangunan kantor, hotel, dan tempat hiburan. Ketiga, bagian selatan yang dimulai dari batas utara Koningsplein (pemukiman Weltevreden). Kelompok yang berbeda akan tinggal di daerah yang terpisah.

Kita bahas satu-satu, ya, mulai dari kelompok Eropa.

Pada tahun 1905, jumlah kelompok Eropa di Batavia mencapai 13.805 jiwa. Orang-orang Eropa seperti tentara, pejabat VOC, beserta keluarganya biasa tinggal di pemukiman Weltevreden. Mereka cenderung menempati bagian tanah yang relatif besar, lokasi yang lebih tinggi, akomodasi yang luas, serta akses yang mudah. Makin dekat dengan pusat makin baik, tapi ada juga yang memilih tinggal di luar kota, pokoknya senyaman mereka aja, deh. Lokasi pemukiman orang Eropa di distrik Weltevreden seperti Gondangdia, Kebayoran, Menteng, sepanjang tembok kota, sementara yang memilih di luar kota biasanya dapat dijumpai di Poort Rotterdam, Nieuwpoort, Utrechtse Poort, dan tepi jalan yang mengarah keluar kota. Sedangkan keturunan Indo-Eropa banyak yang bertempat tinggal di Kemayoran.

Sejak tahun 1905 dilakukan usaha perbaikan kampung oleh pemerintahan kotapraja dimana sebagian tanah yang baru dibeli akan dialokasikan untuk daerah pemukiman. Untuk masyarakat kelas atas seperti orang-orang Eropa, akan dibangun pemukiman di daerah selatan Weltevreden, yaitu Menteng. Daerah Menteng berdiri di antara kanal pembangunan air dan kanal banjir di sebelah selatan. Pemukiman ini dihuni oleh orang-orang Eropa dengan arsitektur yang lebih baru dari abad 19. Pada tahun 1908, sebuah perusahaan Real Estate De Bouwploeg membeli tanah Menteng seluas 295 Rijnlandsche dan bermaksud untuk digunakan sebagai daerah pemukiman bagi masyarakat golongan atas, yang semakin banyak berkedudukan di Batavia dan mencari rumah-rumah yang sesuai dengan kemampuan finansial mereka (Marsitawati, 2007: 79). Semakin banyak permintaan menyebabkan permukiman Menteng menjadi padat dan dilakukan perluasan ke daerah selatan. Alhasil, daerah Menteng menjadi kawasan pemukiman yang banyak mengalami perkembangan di awal abad 20, lho!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline