Matematika masih menjadi momok bagi sebagian besar murid di Indonesia. Nilai kemampuan matematika siswa Indonesia setiap tahun terus menurun.
Ricat, murid kelas 4 di sekolah yang sedang kami rintis adalah satu dari ribuan anak yang mempunyai masalah dengan matematika. Meskipun sudah kelas 4, Ricat belum lancar dan hafal perkalian dan pembagian 1-100.
Jika dasaranya saja masih belum bisa, sudah pasti Ricat kesulitan untuk mempelajari materi yang lain. Hampir setiap tes, nilai matematika Ricat tidicatak pernah lebih dari 40.
Selalu mendapat nilai jelek membuat Ricat bahkan sudah frustasi dengan matematikai. Ricat sangat malas jika waktu pelajaran matematika telah datang.
Sejak awal semester genap, saya ditunjuk untuk mengajar matematika di kelas Ricat. Saya sangat prihatin ketika mengajar langsung Ricat.
Seringkali saya justru kehilangan kesabaran ketika harus mengajari Ricat matematika. Namun saya tidak mau menyerah dan berusaha tetap percaya bahwa tidak ada anak yang bodoh.
Saya mencoba mencari tau kenapa Ricat tidak dapat belajar matematika dengan baik. Saya mencoba mengajak ngobrol personal dan saya amati kehidupan di sekolah.
Kita guru-guru juga terus diskusi bagaimana mendorong Ricat dapat belajar dengan baik. Singkat cerita sampailah saya ke cerita masa kecil Ricat. Darisana mulai terletak titik terang penyebab utama frustasi belajar Ricat.
Sejak kecil Ricat sudah sering mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya. Ricat bahkan sampai harus lari dari rumah karena sering dimarahi oleh bapaknya. Sebagai orang Alor, budaya kekerasan orang tua terhadap anak masih banyak di temui dalam kehidupan sehari-hari.
Mendengar cerita tersebut, sudah dapat dipastikan jika Ricat kurang mendapat kesempatan belajar di rumah. Dari sana saya mencoba mengenalkan kembali matematika dari dasar kembali. Tambah, kurang, kali ,bagi saya selalu sisipkan dalam tugas, pr maupun ngobrol.