Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan: Tidak Ada Kesalihan Instan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bulan suci Ramadhan tiba, mendadak masjid penuh sesak dengan jamaah, warung remang-remang tutup setengah tiang, sekolah disulap menjadi pesantren kilat, siaran televisi dipenuhi acara bernuansa religius, semuatiba-tiba menjadi alim.

Namun kekagetan ini tidak akan bertahan lama, baru separuh jalan semangat beribadah kian mengendor, langkah kaki semakin berat, arah mulai berbelok; dari masjid beralih ke mal-mal. Kedok akhirnya terbuka: Tidak ada keshalihan instan, kita sebenarnya belum siap beriman dan bertaqwa.

***

Memanfaatkan waktu Ramadhan untuk meningkatkan ibadah dan menggembleng iman bukanlah suatu euforia, ini adalah sunnah. Hanya saja dorongan menjalankan sunnah tersebut seringkali sekedar angin-anginan, bukan berangkat dari kesungguhan bertaubat, bukan karena kerinduan untuk mensucikan diri.

Sekolah biasanya mengulang pola pendidikan yang bersifat rutinitas, misalnya memberikan tugas-tugas yang mengalihkan kekhusyukan beribadah kepada laporan-laporan ibadah, meminta tanda tangan khotib, dan merangkum isi ceramah ke dalam sebuah kolom kecil yang menyulitkan anak untuk mengisinya dan tidak nyaman bagi guru untuk membacanya. Dan kenyataannya, memang setelah dikumpulkan, seringkali dicermati pun tidak.

Beda Pengetahuan dan Pemahaman

Menumbuhkan nilai-nilai ibadah puasa pada diri siswa tidak sekedar memberi pengetahuan puasa, orang yang tahu berbeda dengan orang yang paham. Persis seperti perbedaan orang yang mengebut melanggar lampu lalu lintas (lalin) dengan orang yang sabar menunggu giliran lampu hijau. Pengendara yang pertama bukan tidak tahu peraturan lalin, malah ia tahu akan dikejar bila ada polisi, justru karena itulah ia mengebut. Takutnya hanya pada polisi. Bila tidak ada polisi, ia akan melanggar lagi dan lagi. Sedangkan pengendara kedua tidak hanya tahu aturan lalin, tapi dia juga memahami bahwa peraturan itu adalah kewajiban yang bermanfaat baginya dan bagi orang lain, maka ia mengalahkan kepentingan pribadinya untuk taat pada peraturan.

Orang yang berpuasa tak lain karena semua tetangganya berpuasa dan berangkat tarawih di masjid, akan mudah capek. Bila ia merasa lapar dan dahaga yang sangat sebagaimana lazimnya perasaan orang berpuasa, ia akan merasa disiksa, ibadahnya tidak lagi nyaman, bahkan akan menyalahkan Tuhan karena dianggapnya telah “tega” membuat syariat yang tidak manusiawi.

Namun bagi orang yang berpuasa karena tumbuh nilai di dalam dirinya, rasa laparnya akan menumbuhkan empati terhadap orang miskin, muncul kesadaran akan perasaan senasib terhadap sesama, ia menyadari cara pandangnya terhadap orang fakir berubah lebih penuh kasih sayang, sehingga ia bersyukur bahwa dengan puasa hatinya semakin lembut. Ia akan semakin mencintai puasa.

Pengetahuan tentang puasa, tentang zakat, sholat, dan segala sesuatu dalam Islam adalah tingkat kognitif dasar, yang diajarkan pada anak untuk dihafalkan. Namun pada tingkat yang lebih tinggi sekolah tidak boleh terus-menerus berkutat pada pengetahuan, melainkan harus meningkatkan pemahaman dan pengamalan.

Pada tingkat penanaman pemahaman, guru perlu memperhatikan kegiatan anak sehari-hari, guna melihat kesesuaian antara perilaku dengan pelajaran yang telah diberikan. Ujian justru berlangsung di luar kelas, di saat anak bermain. Guru bisa langsung memberi teguran bertahap bila anak berbuat kesalahan, dan diharapkan memberi hadiah saat anak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Pengontrolan seperti ini menanamkan rasa perhatian dalam diri anak, selain juga mengajarkan padanya konsekuensi dari setiap perbuatan, bila ia berbuat baik maka baik pula akibatnya bila berbuat jelek maka jelek pula yang diterimanya.

Salah satu tips mengajar yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah pada saat memberikan pengajaran, beliau bersemangat sampai-sampai seperti komandan perang yang memimpin pasukan. Dengan gambaran ini maka bisa dirasakan bagaimana keyakinan beliau akan merasuk ke hati menggetarkan jiwa, melengkapi pengetahuan dengan perasaan.

Anak dikatakan telah paham, apabila dia telah memiliki perasaan senang mengamalkan kebaikan yang diajarkan padanya sehingga ia ingin terus mengamalkannya, dan ia merasa bersalah bila dirinya berbuat kejelekan sehingga ia ingin memperbaikinya.

***

Bagaimana karakter sekolah Islam? Simak di lanjutan artikel ini:

http://sekolahku.info/2010/08/pendidikan-ramadhan-tidak-ada-kesalihan-instan/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline